Singapura Pakai Hukuman Cambuk untuk Kejahatan Digital, Indonesia?
Hide Ads

Singapura Pakai Hukuman Cambuk untuk Kejahatan Digital, Indonesia?

Adi Fida Rahman - detikInet
Jumat, 21 Nov 2025 19:07 WIB
Pelajar memanfaatkan akses internet publik (JakWiFi) milik Pemprov DKI Jakarta untuk belajar di Taman Puring, Jakarta, Kamis (16/10/2025). Pemerintah terus berupaya menciptakan ruang digital yang ramah anak salah satunya melalui penerbitan Peraturan Pemerintah tentang Tunas Anak Indonesia (PP Tunas) yang mendorong peningkatan literasi digital, keamanan siber serta partisipasi anak dalam ekosistem digital yang sehat. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
Singapura Pakai Hukuman Cambuk untuk Kejahatan Digital, Indonesia? Foto: ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
Jakarta -

Tak hanya Indonesia, sejumlah negara tetangga mengambil langkah tegas untuk melindungi anak dari kejahatan di dunia maya. Beberapa negara bahkan menerapkan hukuman fisik bagi pelaku kejahatan siber yang menyasar anak.

"Singapura sebagai contoh kemarin, menggunakan warga pendekatan hukum yang lebih keras, melalui hukuman cambuk. Kenapa? Karena memang prevention atau tindakan preventif saja tidak akan cukup. Ini harus ada penindakan," ungkap Meutya Hafid, Menteri Komunikasi dan Digital, saat acara penandatanganan kerja sama literasi digital bersama 35 organisasi dan asosiasi masyarakat, di Jakarta, Jumat (21/11/2025).

Lantas Indonesia akan menerapkan hal serupa? Sayangnya saat dimintai tanggapan lebih lanjut oleh awak media, Meutya tidak menjawab dan pergi meninggalkan tempat acara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jurus Indonesia

Indonesia saat ini menghadapi situasi yang sama seriusnya. Kejahatan digital yang melibatkan anak meningkat pesat, terutama melalui media sosial dan game online.

Meutya menegaskan bahwa pemerintah tidak tinggal diam. Hingga tahun ini, Komdigi telah menurunkan lebih dari 3 juta konten negatif yang mencakup eksploitasi seksual digital, pornografi anak, judi online, kekerasan dan penipuan, dan konten ekstrem dan berbahaya.

ADVERTISEMENT

Namun pemerintah mengakui bahwa ritme produksi konten negatif jauh lebih cepat daripada kemampuan penindakan, sehingga pendekatan tunggal melalui teknologi tidak lagi memadai.

"Pendekatan teknologi penting, tetapi tidak akan cukup. Fondasi utama memerangi konten negatif adalah edukasi yang dilakukan secara masif," ujar Meutya.

Dengan mayoritas pengguna internet berasal dari kelompok usia muda, Meutya mengibaratkan ruang digital kini sebagai "tempat indah penuh ranjau" bagi anak-anak.

Untuk perlindungan anak, Indonesia telah memiliki aturan khusus, yaitu PP Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola PSE dalam Perlindungan Anak (PP Tunas 2025).

Salah satu poin pentingnya adalah pembatasan akses media sosial untuk anak usia 13-18 tahun, berbeda dengan Australia yang melarang total anak di bawah 16 tahun mengakses media sosial.

Menkomdigi Meutya HafidMenkomdigi Meutya Hafid Foto: Adi Fida Rahman/detikINET

"Banyak yang tanya, kenapa kalau di Indonesia, minimum 13, lalu kita atur sampai 18. Tidak hanya satu angka seperti di Australia. Ini karena ketika kami di Komdigi menyusun awal bersama banyak kementerian lainnya dan pemerhati anak melihat bahwa ini tidak bisa disatukan usianya karena memperhatikan tumbuh kembang anak," papar Meutya.

"Jadi usia 13 tahun dianggap untuk membuat akun atau memberikan akses akun dengan risiko rendah itu sudah bisa diberikan akses. Lalu platform yang resiko tinggi ini itu diberikan 18 tahun. Makanya kalau ditanya, kita harus menjelaskan agak cukup panjang. Karena kita bilang 13 sampai 18 tahun tergantung profil risiko," lanjutnya.

Menkomdigi menyadari hal tersebut tidak cukup. Indonesia memerlukan keseimbangan antara regulasi tegas dan literasi yang melibatkan komunitas. Karena itu Komdigi menggandeng 35 organisasi masyarakat untuk menjalankan edukasi digital secara masif dalam 1-2 bulan ke depan.

Tujuan besar kolaborasi ini adalah meningkatkan Indeks Masyarakat Digital Indonesia, yang tahun ini naik menjadi 4453, dan ditargetkan terus meningkat melalui edukasi yang lebih dekat dengan masyarakat.

"Ini bukan cuma kepercayaan. Ini penugasan," tegas Meutya.

Menurutnya, perlindungan anak di ruang digital adalah investasi jangka panjang.

"Siapa yang akan melindungi mereka kalau bukan kita mulai dari sekarang? Generasi ini berlari cepat, tapi tugas kita memastikan mereka tidak tersandung ranjau di jalannya."

Hukuman Cambuk di Singapura

Untuk diketahui Singapura menggolongkan kejahatan seksual digital sebagai tindak kekerasan yang sama seriusnya dengan serangan fisik. Karena itu, hukuman yang diterapkan pun berat.

Dilansir Singapore Kegal Advice, selain penjara dan denda besar, pelaku laki-laki 7-50 tahun dapat dijatuhi hukuman cambuk 3-24 kali, tergantung tingkat kejahatan. Hukuman cambuk juga diterapkan pada pelaku yang:

  • Memproduksi atau mengedarkan konten seksual anak,
  • Melakukan grooming terhadap anak bawah umur,
  • Melakukan pemerasan seksual via internet,
  • Terlibat eksploitasi digital yang berdampak pada korban anak dan remaja.

Tujuan utama pendekatan ini untuk menimbulkan efek jera, baik bagi pelaku maupun masyarakat umum, agar tidak mengulangi kejahatan serupa.

Hukuman cambuk dilakukan di ruang tertutup di penjara, dilakukan di daerah bokong dan diawasi oleh petugas medis. Cambuk dilakukan menggunakan tongkat rotan berdiameter hingga 1,27 cm. Ukuran diameter tongkat rotan ini bisa lebih kecil saat mencambuk anak-anak atau remaja.




(afr/rns)
Berita Terkait