Isu penataan ekosistem digital dan telekomunikasi saat ini masih jadi perhatian masyarakat. Salah satu isu yang jadi perhatian publik terkait penyedia layanan over the top (OTT) seperti Google, WhatsApp, Instagram, TikTok, dan lainnya. Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) ungkap usulan sesungguhnya pelaku industri ke pemerintah.
Wakil Ketua Umum ATSI, Merza Fachys mengatakan selama ini yang diusulkan pihaknya ke pemerintah bukanlah pembatasan layanan, melainkan penataan ekosistem digital dan telekomunikasi agar lebih adil, seimbang, dan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Saat ini, kata Merza, baik operator telekomunikasi nasional maupun industri penyiaran menghadapi tekanan besar akibat meningkatnya trafik dari layanan OTT.
Khusus untuk operator telekomunikasi, panggilan suara dan video berbasis internet sangat membebani jaringan yang dibangun operator telekomunikasi nasional. Kondisi ini semakin diperparah dengan layanan OTT yang menggerus layanan operator telekomunikasi. Contohnya, layanan OTT voice dan video call yang mereka sediakan sudah menggerus layanan legacy (voice) milik operator telekomunikasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Layanan OTT juga sangat mendominasi trafik/kapasitas yang sangat tinggi pada layanan data. Tingginya trafik memaksa operator telekomunikasi untuk berinvestasi dan meningkatkan kapasitas agar layanan OTT dapat berjalan prima.
Padahal, kehadiran OTT dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh operator telekomunikasi tidak sebanding dengan investasinya. Selama ini, penyedia layanan OTT tidak memberikan kontribusi positif baik bagi negara maupun operator telekomunikasi yang sudah membangun jaringan infrastruktur yang menopang bisnis mereka.
"Kehadiran OTT di Indonesia sudah cukup lama dan selama ini tak pernah diregulasi. Komdigi dan seluruh pemangku kepentingan perlu duduk bersama untuk mencarikan solusi. Misalnya dibuat regulasi mengenai kewajiban kerjasama. Tujuannya agar dapat segera terwujud sinergi yang positif antara ekosistem digital dan operator telekomunikasi," kata Merza dalam pernyataan tertulisnya, Senin (28/7/2025).
Pemerintah diketahui memiliki dasar hukum yang sangat kuat untuk mengatur OTT, sebagaimana diatur dalam PP 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar), serta turunannya PM Kominfo Nomor 5 Tahun 2021. Pasal 15 ayat (6) PP 46/2021 memberikan kewenangan kepada penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi untuk melakukan pengelolaan trafik, sepanjang untuk memenuhi kualitas layanan atau kepentingan nasional.
Pada umumnya, saat ini penyelenggara telekomunikasi telah memiliki kerja sama dengan OTT. Akan tetapi kerja sama yang ada bukan merupakan bentuk fair share. Dalam implementasinya, perlu dilakukan asesmen bentuk kerja sama apa yang dapat dijadikan sebagai fair share/contribution oleh penyedia OTT atas nilai ekonomi yang telah diperoleh dalam memanfaatkan infrastruktur digital yang telah dibangun dan disediakan penyelenggara telekomunikasi.
"Kewajiban kerjasama ini bertujuan untuk menjaga keberlangsungan bisnis dan layanan telekomunikasi di Indonesia. Jika tak segera diregulasi, maka kondisi operator telekomunikasi akan semakin memprihatinkan sehingga membawa dampak langsung pada kualitas layanan bagi masyarakat dan pendapatan negara," sambungnya.
Selain menyoroti aspek kesetaraan industri, ATSI mengingatkan bahwa penataan OTT berkaitan erat dengan perlindungan konsumen. Maraknya penipuan digital melalui aplikasi OTT seperti WhatsApp dalam beberapa waktu terakhir, mulai dari modus pengambilalihan akun, tautan undangan palsu, hingga penipuan berkedok lowongan kerja, menjadi bukti nyata ekosistem OTT saat ini belum memiliki mekanisme akuntabilitas yang memadai di tingkat nasional.
"Dalam kasus-kasus tersebut, masyarakat Indonesia menjadi korban, namun tidak ada kejelasan jalur pelaporan atau pemulihan yang efektif karena penyedia OTT tidak memiliki kehadiran hukum langsung di Indonesia. Ini menunjukkan selain soal ekonomi, penataan OTT juga merupakan soal perlindungan masyarakat, bahkan keamanan digital nasional," tambahnya.
ATSI mendorong agar Kementerian Komunikasi dan Digital segera membuka forum pembahasan bersama antara regulator dan pelaku industri untuk menyusun strategi penataan OTT yang komprehensif, agar tak terjadi eksploitasi sepihak terhadap infrastruktur telekomunikasi nasional. Lanjut Merza, yang didorong ATSI adalah kepastian hukum dan kesetaraan dalam menjalankan usaha.
Layanan OTT yang saat ini dinilai ada bukanlah penyelenggara yang berada di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. OTT tidak bisa terus berada tanpa regulasi, sementara operator diikat oleh berbagai kewajiban.
"Apalagi ke depannya akan ada tantangan ekosistem digital lainnya yang cukup menantang, seperti AI dan keamanan data. Semua pemangku kepentingan harus duduk bersama dan merumuskan agar ekosistem digital dan telekomunikasi ini dapat berjalan seiring sejalan," pungkasnya.
Simak Video "Peran Strategis Bank Indonesia dalam Melindungi Konsumen di Era Digital"
[Gambas:Video 20detik]
(agt/fay)