Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) berencana melakukan lelang frekuensi 1,4 GHz untuk mewujudkan internet cepat tembus 100 Mbps dan harga berkisar Rp 100 ribuan. Pengamat telekomunikasi menilai cita-cita tersebut mustahil tercapai.
Spektrum frekuensi 1,4 GHz akan dialokasikan Komdigi untuk layanan broadband wireless access (BWA) bagi penyelenggara jaringan tetap lokal (jartaplok) berbasis packet-switched. Akses internet ini nantinya difokuskan di wilayah dengan tingkat penetrasi layanan internet masih terbatas atau belum ada penetrasi sama sekali.
Kamilov Sagala, Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia(BRTI) periode 2006-2009 mengatakan, mengandalkan frekuensi 1,4 GHz untuk menciptakan internet cepat dan murah itu tak masuk akal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya saat ini sudah lebih dari 1.100 operator telekomunikasi pemegang lisensi jartaplok telah membangun jaringan optik di perumahan di berbagai wilayah di Indonesia. Diakui Kamilov, memang masih wilayah yang belum tersedia operator jaringan serat optik.
Disampaikannya bahwa di daerah yang masih terbatas jaringan fiber optik dinilai Kamilov mustahil diwujudkan. Untuk membangun jaringan fiber optik di daerah yang tingkat keamanannya rendah dan kondisi geografis yang menantang, membutuhkan biaya yang sangat tinggi.
"Sehingga mustahil operator BWA pemenang frekuensi 1,4Ghz memberikan harga layanan 100 Mbps dengan Rp 100 ribu. Pun kalau backhaul menggunakan Starlink tetap saja mahal. Belum lagi jika kita mengkritisi kemampuan finansial operator BWA tersebut untuk membangun BTS di daerah terpencil dan tak menguntungkan. Bakti saja untuk menyediakan layanan di daerah 3T tertatih-tatih apa lagi operator jartaplok," ungkap Kamilov dalam keterangan tertulisnya, Kamis (13/2/2025).
Sekilas rencana Komdigi lelang frekuensi 1,4 Ghz untuk mengisi ceruk daerah yang belum tersedia operator jaringan serat optik dinilai bagus. Namun rekam jejak membuktikan, ketika lisensi BWA atau FWA dilelang pemerintah, tak ada jaminan operator telekomunikasi mau membangun di daerah yang belum ada jaringan fiber optik dan di daerah yang tak menguntungkan.
Secara natural, Kamilov menjelaskan, pelaku bisnis akan memprioritaskan usahanya di daerah yang menguntungkan. Jika demikian rencana Komdigi untuk memberikan layanan telekomunikasi murah dan mendorong operator membangun jaringan serat optik tak akan tercapai. Apa lagi selama survei terhadap dampak lelang frekuensi 1,4 Ghz terhadap penggelaran jaringan serat optik tak pernah pernah dipublikasikan oleh Komdigi.
Mengingat kasus sebelumnya, seperti Starlink, yang awalnya dijanjikan untuk wilayah 3T tetapi pada kenyataannya lebih banyak dipasarkan di rumah dan apartemen kota-kota besar.
"Sehingga objektif pemerintah untuk memberikan pemerataan layanan telekomunikasi yang murah tak akan tercapai. Nantinya ujung-ujungnya perusahaan BWA itu ngak mampu membayar PNBP dan mati serta mengembalikan frekuensi," ucap Kamilov.
Agar tak merusak industri telekomunikasi, Kamilov beri masukan agar Komdigi dapat memprioritaskan lelang frekuensi 700 MHz untuk memenuhi kebutuhan layanan broadband. Dengan demikian, operator dapat memberikan harga yang terjangkau dengan kualitas terbaik, dalam lelang 700 MHz, Komdigi harus mempertimbangkan BHP yang lebih murah dibandingkan lelang sebelumnya.
(agt/fay)