Adapun proyek strategis nasional tersebut dikerjakan oleh PT Satelit Nusantara Tiga (SNT), badan usaha swasta yang dibentuk Konsorsium PSN selaku pemenang tender, untuk mengoperasikan satelit pemerintah.
Penyediaan proyek satelit ini menggunakan skema kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Satelit dikerjakan oleh PT Satelit Nusantara Tiga (SNT), perusahaan yang dibentuk oleh pemenang tender yang terdiri dari PT Pintar Nusantara Sejahtera, PT Pasifik Satelit Nusantara, PT Dian Semesta Sentosa, dan PT Nusantara Satelit Sejahtera.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun total kebutuhan pendanaan proyek satelit Satria-1 senilai USD 545 juta atau sekitar Rp 7,68 triliun. Nilai tersebut terdiri dari porsi ekuitas sebesar USD 114 juta dolar atau sekitar Rp 1,61 triliun, dan pinjaman USD 431 juta atau setara dengan Rp 6,07 triliun.
SNT selaku badan usaha swasta yang mengoperasikan satelit Satria-1 telah menggaet investor untuk pendanaan, yakni BPI France (Bank Kredit Ekspor Perancis) yang didukung oleh Banco Santander, HSBC Continental Europe, dan The Korea Development Bank (KDB), serta Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dari China.
Pandemi COVID-19 yang sedang melanda, tidak menghalangi upaya peluncuran satelit Satria-1. Pemerintah benar-benar berharap Satria-1 bisa meluncur sesuai jadwal yang ditargetkan.
Saat diluncurkan nanti, Indonesia akan menjadi negara keempat di dunia setelah Amerika Serikat, Luksemburg, dan Kanada yang memiliki satelit internet berkecepatan tinggi. Satria akan menjadi satelit internet terbesar yang pernah dimiliki negara di Asia dengan kapasitas sebesar 150 Gbps.
Kapasitas itu, sangat mumpuni untuk menaungi layanan internet pada 150.000 titik (spot) di seluruh Nusantara yang belum tertangani Palapa Ring, yakni sebanyak 54.400 titik di Sumatra, diikuti Sulawesi (23.900 titik), Jawa (19.400 titik), Kalimantan (19.300 titik), Papua dan Maluku (18.500 titik), serta sebanyak 13.500 titik di Bali dan Nusa Tenggara.