Aturan PSE Ancam Demokrasi di Internet
LBH Pers menilai Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang PSE Lingkup Privat berpotensi represif dan sewenang-wenang.
Dengan adanya aturan tersebut, memungkinkan Kominfo untuk melakukan pengawasan berlebihan di ranah digital, baik di media sosial maupun media yang dianggap meresahkan dapat ditutup begitu saja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ade Wahyudin dari LBH Pers mengatakan definisi melanggar hukum, meresahkan dan mengganggu ketertiban umum pada Permenkominfo 5/2020 untuk PSE Lingkup Privat tidak dijabarkan secara spesifik. Menurut Ade, definisi tersebut terlalu luas dan tidak spesifik, bahkan sangat karet.
"Potensi sensor sangat besar, sehingga ruang demokrasi akan semakin menyempit, bahkan tidak ada sama sekali. Permen ini dalam catatan kami melanggar prinsip legalitas," ungkapnya.
Disampaikannya, dalam Pasal 9 ayat 4 dan Pasal 14 ayat 3, tidak disebutkan secara jelas mengenai tujuan pelarangan beberapa perbuatan tersebut. Selain itu, potensi pembungkaman kebebasan berekspresi yang bertentangan dengan konstitusi menyebabkan pembatasan itu tidaklah sah menurut hukum.
"Kominfo memiliki kewenangan dari hulu ke hilir dari pengaduan hingga eksekusi PSE yang diadukan, serta minim pengawasan, termasuk menilai konten melanggar hukum, meresahkan, dan ketertiban umum," ucapnya.
Bila di dunia nyata, proses hukum berjalan dan diawasi secara bersamaan oleh aparat penegak hukum hingga masuk pengadilan untuk menghasilkan putusan. Sedangkan di dunia maya, adanya Permenkominfo 5/2020, Kominfo yang melakukan penafsiran, penyelidikan, sampai putusan.
Pembelaan Kominfo
Dirjen Aptika Kementerian Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, membantah aturan PSE memuat pasal karet.
"Kalau terkait pelanggaran penegakan hukum, itu bukan hanya di Indonesia, semuanya kayak gitu ada prosesnya. Biasanya kita minta data dulu, tapi kenapa kita dicantumkan untuk mengakses pada sistem, bagaimana kalau kejahatan itu dilakukan oleh perusahaan itu sendiri?" tutur Semuel.
Ia kemudian mencontohkan kasus Binomo, ketika itu aparat penegak hukum harus bisa masuk ke dalam sistemnya, karena secara sistem mereka melakukan kejahatan. Kalau tidak secara sistem, maka tidak perlu dilakukan.
"Misalnya ada fintech yang nakal mengutip secara sistem, tiba-tiba uangnya pelanggan hilang secara sedikit-sedikit. Nah,itu kan harus masuk. Tapi, kalau mereka tidak melakukan kejahatan secara cooperation, maka nggak perlu takut, karena ini memang hanya memang menargetkanya orang-orang yang punya niatan jahat dan kita ada kasus jelas kemarin, Binomo dan robot trading, karena secara sistem PSE yang nakal," tuturnya.
"Kalau sampai itu terjadi nanti masyarakat dirugikan, kita nggak boleh ngapa-ngapain, nggak boleh masuk ke sistemnya yang nggak bisa. Terkait konten ini sudah aturannya dan kita sudah ada kelolanya. Mereka sudah tahu kok, kita nggak sembarangan. Ada dialog, kalau untuk penegak hukum juga punya akses hukum dengan mereka," sambung dia.
Apabila ada konten yang dinilai mengganggu ketertiban umum, maka Kominfo dapat secara cepat bekerjasama dengan pemilik platform meminta setop kepada platform digital untuk menghentikan penyebaran konten tersebut.
"Tidak mungkin kita melakukan sebelumnya. Harus benar-benar terjadi kehebohan di masyarakat dan itu salah satunya untuk meredam adalah melakukan pemblokiran. Hal-hal yang memang benar-benar terjadi, bukannya kita nggak ada apa-apa minta di-take down, nggak dong," pungkas Semmy.