Bjorka Hilang, Saatnya Menerka Penerapan UU PDP
Hide Ads

Kolom Telematika

Bjorka Hilang, Saatnya Menerka Penerapan UU PDP

I Wayan Suka Wirawan - detikInet
Selasa, 01 Nov 2022 21:12 WIB
Unisa Bicara soal Sanksi ke Mahasiswi Viral Komentar Pasang Kateter (Ilustrasi Smartphone)
Foto: Shutterstock
Jakarta -

Euforia menyambut lahirnya Undang-Undang Nomor 27 ahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) terlihat menggema di banyak tempat seiring menghilangnya sang hacker fenomenal Bjorka.

Banyaknya kabar tentang kasus kebocoran, pencurian, atau penyalahgunaan data pribadi tampaknya makin melegitimasi kehadiran UU PDP. Ada harapan besar bahwa UU PDP dapat menjadi jembatan transformasi HAM ke dalam bentuk perlindungan data pribadi.

Tetapi cita-cita ideal legislasi tidak selalu berbanding lurus dengan penerapannya, termasuk akibat materi muatan legislasi yang memungkinkan penerapan menyimpang dari ideal-ideal itu.

Sejauh mengenai hak akses publik atas informasi publik, berlakunya UU PDP sepertinya dapat menjadi momok bagi cita-cita transparansi penyelenggaraan pemerintahan negara yang hendak diwujudkan melalui keterbukaan informasi publik, walaupun ini tidak mengurangi arti penting kepentingan negara untuk melindungi data pribadi.

Lalu bagaimana kira-kira penerapan UU PDP di masa depan? Untuk menjawab hal itu, ada baiknya kita berkaca dari materi muatan beberapa ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dan bagaimana ia diterapkan.

UU PDP yang baru saja diundangkan pada tahun 2022 ini bagaimanapun berhubungan dengan sangat erat dengan UU KIP yang telah diundangkan terlebih dahulu pada tahun 2008.



Walaupun masing-masing dimaksudkan untuk melindungi kepentingan berbeda, yaitu kepentingan perlindungan data pribadi oleh UU PDP dan kepentingan untuk membuka informasi publik oleh UU KIP, keputusan untuk melindungi kepentingan pribadi pada saat yang sama juga harus mempertimbangkan kepentingan publik karena semua hukum selalu mengabdi pada utilitas publica.

Tema sentral UU KIP, demikian juga UU PDP adalah klaim mengenai hakikat serta sifat hubungan antara keterbukaan informasi publik sebagai kepentingan publik dan kepentingan perlindungan data pribadi sebagai kepentingan privat.

Bahwa kedua kepentingan tersebut idealnya harus sama-sama dilindungi, tetapi keputusan untuk melindungi kepentingan yang satu daripada yang lain tentunya tidak selalu mudah bahkan sangat rumit terutama dalam situasi-situasi argumentatif.

Tidak semua informasi publik dapat diakses publik, tidak semua pula data pribadi dapat disembunyikan dari publik. Ini memang terdengar contradictio in terminis, tetapi fakta bahwa manusia sebagai makhluk dualis menyebabkan sah penyatuan lebih dari satu karakter dalam satu kepribadian hukum berikut akibat-akibat hukumnya.

Baik dalam UU KIP maupun UU PDP, penentuan apakah suatu informasi publik benar-benar dapat diakses oleh publik, demikian juga penentuan batas-batas perlindungan data pribadi berdasarkan alasan kepentingan umum dan derivasinya, secara formal diwujudkan ke dalam apa yang oleh kedua legislasi tersebut disebut sebagai pengecualian informasi atau informasi yang dikecualikan.

Jika UU KIP mengecualikan informasi publik, UU PDP mengecualikan kepentingan atas perlindungan data pribadi.

Halaman selanjutnya: Pengecualian informasi publik >>>

Pengecualian Informasi Publik

Hakikat hukum privat adalah hasil sejarah perjuangan terus-menerus individu untuk melepaskan diri dari belenggu kekuasaan kolektif yang cenderung mengekang, seperti halnya hukum publik yang berpijak dari ide utilitas publica. Namun demikian, masing-masing mustahil dapat dipahami secara yuridis tanpa memikirkannya sebagai kesatuan.

Karena itu apa pun konteks hukumnya, entah itu keterbukaan informasi publik atau perlindungan data pribadi, proposisi imperatif pertama yang harus mendasari setiap analisis atas legal problem yang melibatkan kedua kepentingan tersebut tidak lain bahwa hukum publik dan hukum privat adalah satu-kesatuan.

Sebagai eksistensi normatif yang seharusnya melihat realitas dari berbagai jenis, tesis penyatuan inilah yang tampaknya diabaikan oleh beberapa ketentuan UU KIP yang dimaksudkan untuk mengecualikan informasi publik. Ini terlihat jelas walapun dikemas dengan sangat samar-samar.

Dengan mengatur ketentuan yang mengecualikan informasi publik sejauh informasi publik itu mengandung hal-hal bersifat pribadi, dan pada saat yang sama tidak diatur dan/atau dijelaskan lebih lanjut baik mengenai makna, pengertian, lingkup, adresat, konteks serta batas-batas pemaknaan atau interpretasinya, ini juga berarti bahwa leksikal, norma hukum yang terkandung dalam ketentuan-ketentuan pengecualian tersebut tidak lain menjadi sebagai berikut; "setiap informasi publik sepanjang mengandung informasi pribadi adalah informasi publik yang dikecualikan alias dilarang diakses publik".

Walaupun suatu informasi telah diserahkan dan/atau dikuasai atau disimpan oleh badan-badan publik yang berwenang, atau karena sifatnya harus diketahui publik, atau walaupun terdapat alasan-alasan hukum yang sah untuk menyatakan bahwa informasi yang mengandung informasi pribadi tersebut harus dibuka baik kepada publik maupun mereka yang berhak, informasi tersebut, sekali lagi sejauh berkaitan dengan hal-hal bersifat pribadi, simplistis dapat saja ditentukan sebagai informasi yang dikecualikan.


Aturan pengecualian yang terlalu bersifat umum tersebut mengabaikan situasi-situasi spesifik atau hard cases, sehingga penerapannya bagi penyelesaian kasus-kasus konkrit sangat mudah dapat terjerumus ke dalam berbagai kemungkinan radikal.

Pembentuk UU KIP melupakan situasi-situasi spesifik yang secara tidak terhindarkan dapat saja melahirkan masalah-masalah yuridis termasuk yang melibatkan hubungan antara bahasa dan hukum karena bahasa yang digunakan untuk menyatakan norma-norma hukum tidak selalu bermakna core, tetapi juga penumbra.

Untuk standar kepastian hukum, pernyataan pengecualian informasi yang dirumuskan sebagai "kepentingan umum" atau "kepentingan penyelenggaraan pemerintahan negara" sama saja dengan tidak mengatur apa-apa karena hakikat kerja yuridis melibatkan baik kepentingan publik maupun kepentingan pribadi.

Dengan berlindung di balik makna leksikal bahasa, badan publik bahkan dapat menyatakan mereka yang berhak atas sesuatu sebagai tidak berhak atas informasi mengenai sesuatu yang menjadi haknya, dengan alasan informasi yang dikecualikan.

Tidak ada hal paling menggelikan selain menyatakan seseorang tidak berhak atas informasi mengenai sesuatu yang justru menjadi haknya berdasarkan interpretasi terhadap alasan pengecualian informasi sebagaimana diatur UU KIP. Hal inilah yang lazim disebut sebagai "the misuse of privacy exemptions" atau penyalahgunaan pengecualian informasi berdasarkan alasan privacy.

Halaman selanjutnya: Pengecualian informasi pertahanan >>>

Pengecualian informasi pertanahan

Contoh konkrit yang dapat ditunjukkan untuk lebih memperjelas kemungkinan tersebut misalnya adalah kasus yang melatarbelakangi pengujian materiil atas ketentuan-ketentuan pengecualian informasi publik sebagaimana diatur dalam UU KIP yang saat ini sedang diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi dengan register perkara Nomor:88/PUU-XVIII/2022.

Inti fakta hukum perkara diatas adalah ditolaknya permohonan informasi pemohon oleh badan publik yang berwenang menyelenggarakan pendaftaran tanah, padahal informasi yang dimohonkan oleh pemohon adalah informasi mengenai suatu benda (tanah) yang secara hukum (Pasal 35 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 & Pasal 128 BW) justru menjadi haknya.

Pengecualian informasi tersebut dengan demikian harus disebut sebagai pengecualian informasi yang bersifat menegasikan hak.

Penegasian hak-hak perseorangan atas informasi publik tanpa mempertimbangkan hak-hak orang itu atas benda yang menjadi haknya adalah bentuk lain dari perbuatan yang memisahkan secara tegas antara hukum publik dan hukum privat.

Ada banyak situasi dimana informasi publik yang dikuasai badan publik tidak hanya terkait dengan kepentingan-kepentingan yang murni publik, melainkan juga kepentingan privat, seperti halnya kepentingan pemohon informasi tersebut di atas atas informasi yang tercantum dalam sertifikat dan/atau warkah tanah yang dikuasai badan-badan publik penyelenggara pendaftaran tanah.


Hukum tanah kita bagaimanapun mengakui keberadaan hak seseorang atas tanah bukan hanya berdasarkan alat-alat bukti hak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pendaftaran tanah, tetapi juga hak atas tanah berdasarkan hukum, sebagai titel hak, walaupun subyek haknya tidak ikut terdaftar sebagai salah satu pemegang hak. Ketentuan Pasal 128 BW yang mengandung norma hukum bahwa hak seseorang atas suatu benda harus dihormati lepas dari benda itu terdaftar atas nama siapa pun merupakan bukti valid yang memperkuat dalil ini.

Pengaturan pengecualian informasi publik yang bersifat terlalu umum bahkan telah melahirkan praktik pengecualian informasi publik yang vulgar tidak berangkat dari hakikat hubungan hukum berikut hak-hak yang lahir daripadanya, demikian pula telah memicu pengabaian terhadap ratio asas keterbukaan (publiciteit) dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah sebagaimana dianut UUPA.

Fakta tersebut di sisi lain merupakan bentuk lain dari pengaturan dan penerapan aturan yang mengabaikan hukum sebagai sistem. Tujuan ultim UU KIP adalah untuk melindungi informasi dari mereka yang tidak berhak, atau akontrario wajib memberikannya kepada mereka yang berhak.

Penentuan mengenai siapa yang berhak dan tidak berhak atas informasi tidak bisa hanya didasarkan pada makna leksikal bahasa aturan sebagaimana diatur dalam legislasi, melainkan berdasarkan hakikat hubungan hukum berikut segala akibat hukumnya.

Dengan diperkuat oleh pernyataan bahwa perbedaan antara publik dan privat hanya bersifat gradual, bukan esensial, konklusi suatu hubungan hukum sebagai publik atau privat sebenarnya hanya bahasa kias yang sekedar mencerminkan bobot daripada totalitas.

Kewajiban badan publik untuk memberikan informasi pertanahan dengan dengan demikian harus dibaca sebagai kewajiban hukum publik yang didasarkan bukan hanya pada kewajiban untuk melindungi kepentingan yang murni publik, tetapi juga kewajiban badan publik untuk menghormati dan melindungi hak-hak warga negara yang lahir dari hubungan-hubungan hukum privat atau hubungan-hubungan hukum horizontal diantara sesama warga negara; suatu tanggung jawab hukum badan publik yang lahir dari penyatuan antara hukum publik dan hukum privat.

Halaman selanjutnya: Pedoman uji konsekuensi >>>

Pedoman Uji Konsekuensi

Substansi legislasi memang relatif bersifat umum, tetapi ini bukan berarti dapat nihil dari ketentuan-ketentuan esensial yang seharusnya menjadi kunci bagi pedoman mengenai bagaimana suatu legislasi diatur lebih lanjut untuk kemudian diterapkan.

UU KIP adalah sebuah UU yang mengatur hak atas akses informasi adalah hak yang perlu dibatasi, tetapi melalui ketentuan-ketentuan pengecualian informasi, kriteria mengenai kapan dan dengan syarat-syarat apa pembatasan itu dapat dilakukan, UU KIP hanya memberikan pengaturan umum alias sangat sumir.

Ketidakjelasan syarat-syarat pengecualian informasi publik lebih khusus pengecualian informasi publik berdasarkan kepentingan untuk melindung informasi pribadi diakui atau tidak menyebabkan mekanisme "uji konsekuensi" berjalan hampir tanpa pedoman.

Secara esensial, dan sesuai dengan sebutannya, satu-satunya pedoman pengecualian informasi publik yang ditetapkan melalui mekanisme uji konsekuensi adalah dampak, akibat, atau konsekuensi yang ditimbulkan, yaitu terhadap kepentingan publik.

Pedoman uji konsekuensi hasil karya para konsekuensialis tersebut jelas berangkat dari paradigma utilitarianisme yang menyembah "kemanfaatan" sebagai tujian ultim hukum, dan pada saat yang sama melupakan keadilan termasuk dalam transformasinya sebagai pengecualian informasi berbasis hak (rights based exemptions).


Sebenarnya cukup ditentukan secara tegas dalam legislasi bahwa pengecualian informasi tidak berlaku bagi mereka yang berhak atas informasi. Tetapi kalimat pendek dan sangat sederhana ini tidak pernah muncul dalam materi muatan UU KIP?

Jika UU KIP saja, sebuah UU yang dimaksudkan untuk membuka informasi publik justru menjelma sebagai alat efektif untuk menyembunyikan informasi pribadi yang secara hukum justru harus dibuka, maka setiap pernyataan dalam UU KIP sepanjang berbunyi "keterbukaan informasi publik" merupakan suatu kebohongan, dan dapat dibayangkan situasi pasca berlakunya UU PDP.

Hukum memang diantaranya harus melindungi kepentingan-kepentingan partikellir tetapi UU PDP tidak boleh mengaturnya dengan cara-cara yang memungkinkan pendefinisian hukum hanya sebagai alat untuk melindungi kepentingan pribadi, impian kaum liberalis dan/atau kapitalis.

Ideal pemenuhan hak atas perlindungan data pribadi sebagai HAM bukanlah sesuatu yang tidak dapat dibatasi, tetapi ketidakjelasan legislasi dapat berujung pada penyalahgunaan kewenangan dalam pelayanan informasi publik berkedok perlindungan data pribadi.

Ada situasi dimana data pribadi justru harus diketahui publik, dan penentuannya sebagai demikian oleh UU PDP kemudian disebut sebagai pengecualian terhadap perlindungan data pribadi.

Halaman selanjutnya: Pengecualian perlindungan data pribadi >>>

Pengecualian Perlindungan Data Pribadi

Seperti halnya UU KIP, UU PDP adalah sebuah UU yang mengatur pengecualian terhadap kepentingan perlindungan data pribadi dengan sangat umum alias sangat sumir.

Inti alasan pengecualiannya terutama dinyatakan melalui frase "kepentingan umum seperti halnya penyelenggaraan pemerintahan negara" berikut varian-variannya, dan harus berdasarkan UU.

Selebihnya, kewenangan penentuan pengecualiannya diatribusikan begitu saja kepada para pelaksana legislasi menurut pedoman pengecualian yang sangat umum dan tidak jelas itu. Situasi tersebut sangat mungkin melahirkan berbagai penyalahgunaan yang disebabkan oleh diskresi menafsirkan dan/atau menerapkan aturan.

Dengan alasan kepentingan perlindungan data pribadi, penentuan mengenai mana informasi yang dapat diakses publik atau sebaliknya akan sepenuhnya ditentukan oleh kebebasan eksekutor legislasi untuk menafsir dan menuangkannya ke dalam bentuk regulasi. Ini lazim disebut sebagai kebijakan mengatur bersifat "intended indeterminacy at the lower level", bentuk lain dari kemalasan legislator.

Mengingat pedoman pengecualiannya bersifat terlalu umum, dan dari sini menyebabkan nihilisme pedoman mengatur secara yuridis dan kontekstual, salah satu kemungkinan yang dapat terjadi adalah penyembunyian informasi publik secara tidak sah terutama dengan alasan kepentingan perlindungan data pribadi.

Dalam perspektif hak, informasi publik yang rentan ditutup secara tidak sah dengan alasan perlindungan data pribadi adalah informasi publik yang mengandung salah satu elemen hak paling mendasar, yaitu subyek hak, sebagai pribadi, seperti halnya identitas pribadi pemegang hak atas tanah dalam sertifikat dan/atau warkah tanah.


Transfer informasi oleh badan publik kepada masyarakat dalam rangka pelayanan informasi publik bukan tidak mungkin diterapkan dengan sepenuhnya bergantung pada persetujuan subyek-subyek partikelir yang menyatakan diri sebagai pemilik data pribadi.

Alasan badan publik untuk menyembunyikan data pribadi yang secara hukum justru harus diungkapkan semakin memperoleh legitimasi rasional setelah mengingat ancaman pidana bagi setiap pemberi informasi yang soal sah-atau tidak sahnya belum dapat ditentukan secara pasti sebelum diputuskan pengadilan. Badan-badan publik pun berubah menjadi badan-badan partikelir.

Lebih konkrit, UU PDP bahkan telah menentukan kembali simpanan nasabah bank atau nama lainnya sebagai data pribadi, dan pada saat yang sama mengabaikan norma hukum pengecualian atas informasi simpanan nasabah bank sebagaimana telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi melalui salah satu putusannya.

Bercermin dari norma serta penerapan norma pengecualian informasi sebagaimana diatur UU KIP, dan sejauh mengenai informasi publik yang di dalamnya terkandung informasi pribadi, berlakunya UU PDP dapat dipastikan akan semakin mempersulit akses publik terhadap informasi publik yang secara faktual telah terjadi di bidang pelayanan informasi pertanahan.

Masalah inheren pengecualian informasi publik terutama terletak pada kriteria-kriteria pengecualian informasi yang dalam UU KIP dan UU PDP diatur dengan sangat umum untuk kemudian diserahkan penafsirannya kepada penguasa, gaya mengatur yang lebih berkarakter "rule of man" daripada "rule of law".

Kualitas legislasi tidak ditentukan oleh dicontek dari negara mana pengaturan perlindungan data pribadi, melainkan apakah substansinya dapat dijamin tidak merampas hak-hak publik atas informasi dengan alasan perlindungan data pribadi.

Eksekutor legislasi, terutama Presiden, oleh sebab itu patut disarankan untuk mengawasi secara ketat pembentukan peraturan-peraturan pelaksanaan UU PDP agar ketentuan-ketentuannya tidak mengorbankan hak-hak hukum siapa pun.


*) I Wayan Suka Wirawan adalah Advokat & Dosen Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar



Simak Video "UU PDP Segera Diberlakukan, Kominfo Imbau Masyarakat Tetap Jaga Data Pribadi"
[Gambas:Video 20detik]