Upaya pemerintah untuk menjaring investasi baru di sektor pos, telekomunikasi, dan penyiaran menjadi perhatian dari founder Sobat Cyber Indonesia Al Akbar Rahmadillah.
Layanan Over The Top (OTT) seperti Netflix, Google, hingga Facebook yang semakin berkembang dan menghasilkan nilai ekonomi yang besar menjadi sasaran untuk sektor ini. Melalui kewajiban kerja sama tersebut, Akbar meyakini kalau aturan OTT asing akan mendatangkan investasi baru yang besar bagi Indonesia. Ia menilai, pengaturan kewajiban kerja sama antara OTT dengan penyelenggara telekomunikasi adalah hal yang tepat.
"Kewajiban kerja sama ini sudah tepat. Melalui kewajiban kerja sama, OTT dapat layanan yang lebih baik dari operator. Operator pun mendapatkan dukungan dalam berinvestasi untuk mengembangkan infrastrukturnya. Kapasitas dan cakupan jaringan dan data center nasional akan meningkat. Investasi ini tentu akan membuka banyak lapangan kerja. Ini kan yang selama ini kita tunggu-tunggu. Apalagi kewajiban ini merupakan mitigasi untuk menjaga kedaulatan digital," jelas Akbar dalam keterangan tertulis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akbar melihat kewajiban kerja sama ini berdampak langsung terhadap pembukaan berbagai lapangan pekerjaan di sektor telekomunikasi dan digital.
"Investasi ini strategis. Lapangan kerja yang dibuka nantinya akan banyak menyerap digital talent Indonesia. Yang akan diuntungkan nantinya adalah generasi milenial Indonesia, UMKM dan penggiat konten Indonesia. Untuk itu, pengaturan kewajiban kerja sama ini sangat perlu kita dukung dan perjuangkan," tambahnya.
Selain dukungan, Akbar juga menyampaikan adanya penolakan dari beberapa pihak karena tidak mau tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Perwakilan regional dari beberapa penyelenggara OTT menyatakan keberatan terhadap regulasi ini. Bagi Akbar, keberatan ini tidak lepas dari persaingan berebut investasi di kawasan.
"Wajar lah. Itu yang keberatan kan VP regionalnya OTT saja. Mereka kan ngantor di Singapore. Kalau regulasi ini jalan, mereka kan pindah investasi ke Indonesia. Sedangkan OTT Global lainnya yang sudah investasi di Indonesia tidak menolak kewajiban kerja sama. Artinya, penolakan ini bisa dilokalisir karena kepentingan pihak tertentu di Kawasan saja. Pasar terbesar OTT di kawasan ini kan Indonesia, investasinya ya harus di Indonesia juga dong," tegas Akbar.
Namun, sangat disayangkan oleh Akbar adanya segelintir pihak di dalam negeri yang mau diadu domba untuk ikut-ikutan menyatakan penolakannya. Akbar meyakini pihak tersebut tidak paham telah dimanfaatkan oleh penyelenggara OTT global yang tidak mau berinvestasi di Indonesia. Bagi Akbar, penolakan ini sama saja dengan mengkhianati perjuangan bangsa.
"Sangat disayangkan ada asosiasi kecil yang menolak. Kita semua paham, di sana kan ada penyelenggara OTT global yang tidak mau invest di Indonesia," ungkapnya.
Momen ini menurutnya adalah kesempatan terbaik bagi pemerintah Indonesia untuk memenangkan persaingan menggandeng investor asing masuk ke Indonesia. Menurutnya, seluruh anak bangsa harus kompak mendukung pemerintah mengatur kewajiban kerja sama antara penyelenggara OTT dengan penyelenggara telekomunikasi.
(agt/rns)