Dalam proses revisi PP 82/2012, FTII melihat bahwa pemerintah kurang terbuka terhadap naskah draft dan menafikan usulan komunitas. Padahal, pihaknya ingin memberikan masukan pada aturan tersebut.
"Setelah mempelajari dan mengupas draft revisi PP-82/2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang kami terima minggu lalu melalui salah satu anggota, kami menganggap perlu untuk menyatakan sikap keberatan dan memberikan masukan terhadap beberapa bagian dari draft tersebut," ujar Ketua Umum FTII Andi Budimansyah seperti dalam keterangan tertulisnya, Kamis (10/10/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
FTII menyoroti beberapa bagian dari draft tersebut yang tidak selaras dengan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah lainnya, yaitu UU 25 Tahun 2009 dan PP 96 Tahun 2012 tentang Pelayanan Publik. Ketidakselarasan tersebut ditemukan pada bagian definisi Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Publik. Perbedaan definisi ini membuat draft PP ini terkesan ingin berjalan sendiri.
Dijelaskannya, keselarasan tersebut penting mengingat setiap Penyelenggara Pelayanan Publik menjalankan Misi Negara sebagaimana tertuang pada alinea ke 4 Pembukaan UUD 1945.
Selain itu, terdapat definisi baru yang pada draft tersebut, yakni Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Publik yang membatasi pada Instansi dan Institusi Negara saja, dan tidak mencakupi Penyelenggara Pelayanan Publik lainnya yang menjalankan Misi Negara. Menurut FTII, hal ini tidak sejalan sebagaimana dimaksud pada oleh UU 25 Tahun 2009.
Baca juga: 'Tol Langit' Diresmikan Jokowi Jumat Ini |
Andi menambahkan, implementasi atas definisi Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Publik tersebut akan berpengaruh besar terhadap praktek perlindungan data publik.
"Jika sebelumnya semua data yang digunakan dalam melayani rakyat Indonesia wajib ditempatkan di dalam wilayah hukum Indonesia, nantinya kewajiban tersebut dan hanya berlaku bagi Instansi dan Institusi Negara saja yang merupakan bagian sangat kecil dari kumpulan data publik yang perlu dilindungi," ungkap Andi.
Dengan definisi ini pula, semua layanan elektronik non-pemerintah tidak perlu ditempatkan pada wilayah hukum Indonesia. Efek samping kebijakan ini pada akhirnya adalah hilangnya peluang investasi dari industri data center yang telah berkembang pesat sejak PP 82/2012 berlaku. Selain itu juga, tentunya akan menyulitkan penegakan hukum oleh Aparat Penegak Hukum karena harus meminta izin dan berkoordinasi lebih lanjut kepada otoritas dimana data tersebut ditempatkan.
Baca juga: Kominfo: Buzzer Itu Boleh, Tapi... |
Di dalam draft Revisi PP 82 ini juga terdapat definisi baru yang berbunyi Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat. Penggunaan nomenklatur privat tersebut terkesan bahwa negara mengatur lingkup/wilayah privat dari sebuah organisasi non pemerintah.
"Mengingat saat ini besarnya dorongan pemerintah dan publik terhadap kebutuhan atas UU Perlindungan Data untuk segera diundangkan, kami mengusulkan agar perubahan PP 82/2012 menunggu diundangkannya UU Perlindungan Data terlebih dahulu," tutup Andi
(agt/fay)