Hal itu disuarakan oleh Sharing Vision ketika memberikan dua rekomendasi utama terkait kepentingan industri telematika nasional tahun depan. Khususnya ketika melihat geliat pemain over the top (OTT) asing seperti Google dan Facebook.
"Pertama, operator seluler harus bersinergi dengan para OTT dengan dimediasi pemerintah lewat regulasi sehingga tercipta keseimbangan," kata Dimitri Mahayana, Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, Senin (5/12/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Cara lainnya adalah operator menjual data ke pengiklan melalui OTT, dan OTT kemudian diwajibkan menumpang infrastruktur operator. Bentuk sinergi lainnya bisa dibahas asal ada dibangun komunikasi antara OTT, operator, dan pemerintah," katanya.
Ruang komunikasi ini penting karena selama ini, regulasi pemerintah terhadap operator telekomunikasi sangat banyak. Mulai dari biaya lisensi, BHP telekomunikasi, BHP pita spektrum, PPN, PPh, USO, tarif interkoneksi, layanan pelanggan, dan banyak lagi.
Di sisi lain, kata Dimitri, pemain OTT tak diikat seketat hal tersebut. Mereka tak harus membayar lisensi, perizinan, tidak harus bayar pajak (bahkan banyak yang mangkir), termasuk tak memberi layanan optimal pelanggan, sehingga bea operasional lebih ringan.
Jika terus dibiarkan tanpa regulasi ketat dan tegas, maka boleh jadi OTT ke depan bisa membeli operator seluler. Sinyalamen kesana sudah ada seperti Google yang membeli sejumlah perusahaan perangkat keras hingga jaringan virtual. Dan ini berbahaya karena informasi nanti satu sumber.
Kedua, hapuskan wacana tidak ada kewajiban membangun data center. Beberapa waktu lalu, Menkominfo dan Dirjen Aptika Kominfo mewacanakan OTT tak perlu membangun data center sehingga ketimpangan makin besar.
"Justru di mata saya, data center menjadi salah satu komponen penting agar OTT tak bisa berkelit dari regulasi, terutama pajak seperti selama ini. Sebab, semua transaksi online otomatis terekam dan tak bisa disangkal mereka," katanya.
Apalagi, regulasi terkait sejak lama sudah ada dan tak bisa diingkari. Sebagaimana sudah benar diatur dalam Pasal 17 Ayat 2 PP No 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE).
"Penyelenggara Sistem Elektronik untuk pelayanan publik wajib menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia untuk kepentingan penegakan hukum, perlindungan, dan penegakan kedaulatan negara terhadap data warga negaranya."
Untuk itulah, sambung Dimitri, perusahaan-perusahaan OTT dengan basis pengguna besar seperti Google, Facebook, dan WhatsApp, seharusnya menjadi layanan internet yang paling pertama diminta berkomitmen membangun data center.
"Peta arahnya harus jelas dilakukan pemerintah. Pada 2017 nanti, itu harus siapa yang dikejar lebih dulu untuk membangun bangun data center di Indonesia. Jangan terus ada kecemburuan sosial karena tidak baik buat iklim usaha," pungkasnya. (rou/rou)