Gaya Santai Berburu Foto di Nepal ala Ayomi Amindoni
Hide Ads

Gaya Santai Berburu Foto di Nepal ala Ayomi Amindoni

Ari Saputra - detikInet
Selasa, 26 Mei 2015 11:58 WIB
Ayomi Amindoni (ari saputra/detikINET)
Jakarta -

Tidak kalap dan tenang. Lebih menikmati suasana terlebih dahulu sebelum memotret. Sambil meresapi angin dan membiarkan naluri menuntun ke cerita kota dan panggung rasa. Saat mendapatkan feel yang pas, kamera film Pentax K1000 baru dikokang. Kemudian mengeker sejenak dan,...klik. Kesederhanaan dan damai Nepal pun beralih ke film seluloid 35mm di balik rana.

"Aku bukan tipe yang motret banyak-banyak. Aku rasakan dulu. Biasanya dengan kamera digital dulu, baru kalau sudah oke pindah ke film," kata Ayomi Amindoni (29), seorang profesional Jakarta yang hobi memotret saat ditemui di Kawasan Tebet, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Berteman dengan tiga kamera -- Pentax k1000, Lomo Diana dan Fuji X100 -- ia memesan tiket Lion Air ke Nepal dua pekan sebelum hari H. Film Kodak 35mm dan Fuji 120mm -- masing-masing tiga roll -- ia sisipkan di tas messenger yang bakal menemani Ayomi selama dua pekan di negeri seribu dewa tersebut. Sementara untuk memory card, ia bakal menghabiskan tidak lebih dari 8 GB -- jumlah yang tidak terlampau banyak untuk waktu dua pekan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selebihnya tidak ada tongsis, tanpa tripod, tak pakai pemandu lokal. Cukup sedikit riset kecil-kecilan soal Nepal sebelum berangkat.

"Cuma (modal) Google Map saja. (Selebihnya) nanya-nanya. Kalau foto sendiri ya pakai self timer, kamera ditaruh di tas atau batu. Ada teknologi kenapa tidak dimanfaatkan. Lagian di sana jarang orang (untuk dimintai bantuan)," tukas dara berkacamata ini.

Katmandhu menjadi kota pertama bercengkrama dengan kesederhanaan. Di bawah warna-warni kertas doa yang digantungkan di antara bangunan perumahan dengan aktivitas warga yang tidak terlalu terburu-buru. Gang-gang antar flat itu membuat siluet dan cahaya apik menembus dengan pelan. Ibu-ibu dan anak-anak mudah dijumpai di depan rumah dengan baju warna-warni dan cat tembok cerah. Mereka tersenyum.

"Selalu ramah kepada orang asing, tidak takut difoto. Selalu bilang 'namaste...' sambil tangannya begini," kata Ayomi mencontohkan kedua tangan yang saling dicangkupkan di depan dada dengan badan sedikit menunduk.


Salah satu spot favorite untuk streetphotography di daerah Jyatha Katmandhu. (Foto: Ayomi Amindoni)

Hari ketiga, ia beralih ke Lumbini, 9 jam naik bus malam dari Katmandhu. Kota ini menjadi tempat kelahiran Sidharta Gautama yang banyak dikunjungi peziarah maupun traveler asing. Terdapat taman luas dengan dikelilingi pohon Bodhi. Sebuah pemandian umum kuno masih terawat rapih, tak jauh dari wihara yang diyakini berdiri di atas tanah kelahiran Budha Gautama.


Ayomi berpose di bawah pohon Bodhi di Lumbini. Kota kecil ini merupakan tempat kelahiran Sidharta Gautama. (Foto: Ayomi Amindoni)

"Auranya benar-benar berbeda. Bukan mistis tetapi spiritual," tukas Ayomi yang menyewa sepeda onthel Rp 26.000/hari untuk menikmati suasana adem Lumbini sembari berburu foto.


Katmandhu Durbar Square sebelum gempa 7,9 SR. (Foto: Ayomi Amindoni)

Di Lumbini pula, Ayomi merasakan gempa hebat yang berpusat di Katmandhu. Warga lokal atau turis asing berhamburan keluar bangunan meski lindu 7,9 SR tidak sempat merobohkan bangunan satupun di Lumbini.


Katmandhu Durbar Square setelah gempa 7,9 SR. (Foto: Ayomi Amindoni)

"Lucunya saat pada panik dan keluar bangunan ada yang bermain ukulele. Bule. Menghibur warga yang panik gempa dan lumayan menghibur," tandas penyuka kamera Lomo sejak ia masih kuliah ini.

Keesokan harinya, Ayomi bergeser ke Pokhara. Kota kecil mirip Ubud Bali yang berjarak tempuh 6 jam menggunakan bus umum. Sebuah danau dengan aura yang sangat menenangkan menjadi destinasi utama. Phewa Lake, begitu danau itu dikenal para turis begitu indah untuk diabadikan dengan kamera.

"Suasanannya sangat peacefull, honestly. Danaunya bagus banget. Mirip Danau Ranukumbolo. Kalau ke Nepal harus ke Pokhara," kata Ayomi yang sejak berada di Katmandhu sudah jatuh cinta dengan aroma bir lokal, Gorkha dan Tuborg.

Tidak mengherankan kesan damai dan tenang itu menjadi begitu terasa pada gambar yang ia hasilkan. Tak hanya di Pohkara namun di dua kota sebelumnya, Lumbini dan Katmandhu. Foto-fotonya minim hingar-bingar ala street photography pada umumnya seperti merpati yang beterbangan atau anak anak berlari-larian.

Beberapa foto human interest juga dibuat natural tanpa harus mengeksploitasi ekpresi dengan berlebihan. Bahkan, nelayan Danau Phewa dibuat misterius dengan backpose menghadap danau.


Danau Phewa Pokhara. (Foto: Ayomi Amindoni)

Anak-anak maupun kaum perempuannya ditampilkan alamiah, terkadang malu-malu atau bergaya portrait. Alurnya lembut namun mempunyai kekuatan cerita yang kuat. Terlihat pendekatan fotografinya sangat komunikatif dan tidak berjarak dengan yang difoto sehingga gambarnya begitu menonjol. Sebagian foto-foto Ayomi di Nepal sempat ia unggah di galeri Instagram @ayomiamindoni.

"Aku berusaha membalas keindahan Nepal, keramahan warganya, keindahan alamnya dengan menjadi volunter. Ikut membagi-bagikan logistik bersama relawan Indonesia di Katmandhu untuk korban gempa," tandas Ayomi yang satu pekan menjadi relawan di sebelum pulang ke Tanah Air menggunakan pesawat TNI yang mengevakuasi WNI di Nepal.

Lantas, setelah tiga pekan meninggalkan Nepal, ketagihan berburu foto ke Nepal?

"Banget. Pokoknya bagus banget buat foto-foto. Pas banget kalau untuk hunting foto. Kalau diajakin ke sana lagi, mau banget," tandas Ayomi yang hanya menghabiskan budget Rp 3,5 juta selama dua pekan di Nepal. Murah!

(Ari/ash)
Berita Terkait