Sedangkan di Amerika Serikat, TikTok buatan ByteDance ini juga diserukan untuk diboikot karena dinilai menyebarkan konten-konten hoax bahkan membuat generasi muda di AS lebih condong mendukung Palestina.
Head of Communications TikTok Indonesia, Anggini Setiawan menilai kedua fenomena tersebut muncul karena adanya miss-conception (kesalahpahaman) terhadap sistem kerja algoritma di TikTok.
"Ini fenomena yang sangat sederhana di Indonesia. TikTok dituding pro-Israel, tapi yang muncul di negara-negara yang sekutunya Israel kita dituduh pro-Palestina," ujar Anggini melalui acara 'Mengulik Lebih Jauh Cara Kerja Algoritma TikTok di Tengah Isu Hangt' Jumat, (1/12/2013) di Jakarta.
Anggini pun menekankan bahwa pengguna memiliki kontrol yang sangat besar untuk menentukan apa yang akan dilihat, dikonsumsi untuk konten yang muncul di FYP (for your page).
"Misal saat kita disuruh mencari bahan untuk menulis tentang Israel dan Palestina di Tiktok, namun lebih fokus mencari konten ke Israel karena tentang Palestina sudah banyak. Habis itu pasti akan bermunculan lagi konten Israel, jadi merasa banyak karena kita melihat terus," terang Anggini.
Menurutnya nomor satu yang menentukan FYP adalah interaksi dari pengguna. Saat pengguna pertama kali bergabung ke TikTok mereka akan diminta untuk memilih apa yang diminati. Dari situ TikTok akan memberikan konten yang mereka minati. Tapi hal ini bersifat dinamis alias berubah-ubah sehingga algoritma TikTok pun juga akan berubah untuk memberikan konten ke pengguna.
"Kalau teman-teman berinteraksi dengan konten tersebut, algoritma pasti akan lanjut berkembang, tapi kalo tidak berinteraksi itu akan hilang lagi. Jadi itu sifatnya cukup intuitif dan dinamis," jelas Anggini.
(jsn/jsn)