Ulasan Data Scientist Lonjakan Omicron: Jangan Sepelekan Tapi Tidak Parno!

Ulasan Data Scientist Lonjakan Omicron: Jangan Sepelekan Tapi Tidak Parno!

ADVERTISEMENT

Kolom Telematika

Ulasan Data Scientist Lonjakan Omicron: Jangan Sepelekan Tapi Tidak Parno!

Budi Sulistyo & Dimitri Mahayana - detikInet
Rabu, 16 Feb 2022 11:50 WIB
Omicron Variant on test tube - New Variant of Covid 19
Ilustrasi varian Omicron. Foto: Getty Images/iStockphoto/DMEPhotography
Jakarta -

Sejumlah publikasi media nasional menyebutkan, sejumlah negara terutama di Eropa membuat keputusan pemerintah yakni menihilkan pandemi Covid-19. Selain dikategorikan berubah menjadi endemi, berbagai prokes dan pembatasan sosial pun dicabut total.

Di lain sisi, juga masih dari pemberitaan media nasional (baik konvensional maupun daring), kompak para pejabat yang mengumumkan hingga masyarakat yang terkena virus, menyebut varian Omicron lebih jinak (mild) daripada varian Delta.

Benarkan data-data tersebut? Bisakah kita meremehkan Omicron, dan sekaligus meniru negara lain yang mengubah status pandemi menjadi endemi? Sampai kapan turun naik kasus ini terjadi, serta apa solusi efektif menangkalnya?

Menggunakan pendekatan data scientist khas Sharing Vision, penulis merekap data durasi panjang dan lengkap yakni dari awal status pandemi Indonesia (Maret 2020) hingga Februari 2020 dengan basis sumber data dari data.humdata.org yang merujuk John Hopkins University, Maryland, Amerika Serikat. Berikut sejumlah hasil olahan datanya.

Pertama, sepanjang pandemi berlangsung, kasus harian di Indonesia 40.489 kasus dengan tren harian sekarang 37.336 kasus. Dari angka tersebut, lonjakan kurva grafik terjadi dua kali yakni Juni-Juli 2021 saat varian Delta mengganas dan akhir Januari-awal Februari 2022 dengan Omicron. Jika dibandingkan dua kurva grafik tersebut, bentuk kurva lonjakan tertajam terjadi di puncak Omicron sekarang.

Hal ini simultan dengan kenaikan kasus harian periodikal (1 mingguan) yang juga lonjakan tertajam pada Januari-Februari 2022 sebesar 285,68% per 30 Januari 2022, dan kemudian kembali melambat menjadi 104,95% per 11 Februari 2022 (lihat Gambar 1.1 di bawah).

Data scientist omicron

Apabila dibandingkan dengan negara lain, terutama sesama Asia Tenggara, dan negara lainnya di dunia (lihat gambar 1.2 di bawah), maka pola kenaikan kasus harian di Indonesia per Februari ini cenderung serupa dengan mayoritas negara di Asean dan dunia. Penurunan lonjakan Omicron misalnya sudah tampak terjadi di Australia dan Filipina.

Data scientist omicron

Kedua, kematian harian di Indonesia Maret 2020-Februari 2022 mencapai angka 100 dengan tren kematian saat ini 72 kejadian. Sementara kenaikan angka kematian harian periodikal (1 mingguan) mencatat kenaikan tertinggi hingga 267,33% per 8 Februari 2022 dan kemudian sedikit melambat menjadi 172,97% per 11 Februari 2022. Akumulasi kematian hingga 11 Februari 2022 adalah 144.958 orang dengan lonjakan kematian harian yang kembali terjadi mulai pertengahan Januari 2022 (lihat Gambar 1.3a dan 1.3b di bawah).

Data scientist omicron

Jika grafik kematian harian di Gambar 1.3 di atas dikomparasikan secara global (lihat Gambar 1.4 di bawah), terlihat pola yang sangat perlu kita waspadai karena beberapa negara maju dengan fasilitas kesehatan mumpuni, justru alami tingkat kematian akibat Omicron yang menyamai atau bahkan lebih tinggi dari tingkat kematian akibat varian Delta yang telah membuat dunia mencekam pada Juli lalu. Contohnya di Australia, Jepang, Prancis, Jerman, Spanyol, Inggris, dan Amerika Serikat.

Data scientist omicron

Ketiga, dengan memadukan data pertama dan kedua untuk kasus di Indonesia tadi yakni jumlah kematian harian dibagi kasus harian di Indonesia, muncullah CFR (Case Fatality Rate). CFR secara akumulatif di Indonesia adalah 3,08% per 11 Februari 2022 dengan tren CFR lonjakan Omicron per 11 Februari 2022 sebesar 1,3%. Tren ini sudah mempertimbangkan selisih waktu (delay) 14 hari antara data kasus harian dengan kematian harian. Maka, merujuk tiga kelompok data tersebut, sangat tidak bijak jika kita menganggap remeh lonjakan Omicron sekarang.

Betul, mungkin gejala yang dirasakan tidak separah Delta, akan tetapi dengan tingkat CFR di kisaran 1% sebagaimana yang terjadi di Indonesia, dan juga seandainya puncak kasus harian Indonesia mencapai 100-150 ribuan seperti yang disampaikan Wakil Menteri Kesehatan di CNN, maka kita masih berpotensi mengalami tingkat kematian harian 1000-1500 orang per hari atau lebih. Ini tentu perlu sangat kita waspadai!

Sebab, varian Omicron ini menyebar jauh lebih cepat dibandingkan varian Delta, maka kita tetap perlu mewaspadai risiko tingginya kematian akibat kasus harian yang terlampau tinggi. Berdasarkan perkiraan risiko tersebut, kita perlu mawas diri dengan pernyataan yang sering kita gaungkan bahwa Omicron ini lebih mild dibandingkan Delta.

Penulis juga melihat, baik di Indonesia dan negara lainnya, awal mulai kenaikan selalu di triwulan I baik tahun 2020, 2021, dan 2022. Hal ini menandakan bahwa libur Natal dan Tahun Baru di seluruh dunia berkontribusi signifikan terhadap lonjakan kasus.

Indonesia menambah signifikansi waktu sebaran ini dengan Libur Lebaran yang tahun 2020 dan 2021 terjadi pada triwulan II, sehingga puncak lonjakan sudah terjadi di triwulan III seperti kasus varian Delta tahun lalu yang hampir membuat semaput fasilitas kesehatan nasional.

Karenanya, dengan lonjakan Omicron sudah langsung tancap gas di awal triwulan I, serta libur Lebaran ada di awal triwulan II (akhir April dan Mei 2022), maka harus bersama kita pastikan tidak terjadi lonjakan eksponensial di Juni-Juli tahun ini.

Singkatnya, kita semua tidak boleh memandang remeh varian Omicron dengan merujuk pada tingginya kematian harian yang terjadi di beberapa negara. Kita perlu sangat mawas diri ketika menyatakan bahwa Omicron ini lebih jinak. Di sisi lain, kita juga tidak perlu paranoid dengannya, sehingga sikap pertengahan dengan penuh antisipasi bisa dilakukan agar kita dapat membangun respon yang pas dalam menghadapi hantaman Omicron ini.

Lantas, apa saja yang paling efektif dan efisien menekan ini semua? Sebagaimana kami sudah tulis secara konsisten di detikinet sebelumnya, bahwa solusi ini semua tetap sama: 5M dan 3T.

Kita semua harus tetap taat prokes terutama taat melaksanakan 5M, sekaligus pemerintah terus berusaha melacak, menekan, dan melokalisir pergerakan kasus berbentuk aktivitas 3T. Kemarin-kemarin, terutama setelah terjangan virus melandai dari Agustus 2021-Januari 2022, banyak dari kita yang tak lagi disiplin bermasker, rajin cuci tangan, dan penuh mobilitas bepergian hingga berkerumun di mana-mana sekalipun belum semua divaksin.

Sekarang, kita kembali diingatkan, agar tetap menjaga prokes dalam menjalankan aktivitas keseharian seraya kian berpasrah diri kepada Tuhan YME, agar bersama kita bisa memulihkan segalanya lebih hebat. Meminjam slogan G20, marilah kita semua untuk.... Recover Stronger, Recover Together.

* Dr. Ir . Budi Sulistyo, MT adalah Senior Data Scientist PT. Sharing Vision Indonesia dan Dr. Ir. Dimitri Mahayana, M. Eng adalah Dosen STEI ITB Kelompok Keahlian Kendali dan Komputer.



Simak Video "Gejala Omicron BN.1 yang Sudah Masuk Indonesia"
[Gambas:Video 20detik]
(fyk/fyk)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT