Kurir e-commerce tidak ikut mencicipi manisnya kenaikan bisnis online selama pandemi. Yang terjadi, kesejahteraan dan keamanan diri mereka saat bertugas mengantar barang diabaikan. Lewat sebuah petisi di Change.org, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah diminta bertindak.
Petisi online yang digagas oleh Serikat Pekerja 4.0, menyayangkan banyak cerita tentang kekerasan yang dialami kurir-kurir COD. Selain itu, beban kerja mereka pun tidak manusiawi dan penghasilan mereka tidak sebanding dengan kerja keras.
Dalam petisi "Menaker Ida Fauziyah, Tolong #LindungiKurir E-commerce. Mereka Belum Aman dan Sejahtera", mereka meminta lima poin standar perlindungan terhadap pekerja kurir agar dipenuhi yaitu:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Mendapatkan bantuan hukum
2. Adanya jaminan keselamatan kerja
3. Skema pendapatan yang layak
4. Beban kerja manusiawi
5. Edukasi massal terhadap para pengguna jasa COD di berbagai marketplace di Indonesia.
Sejauh ini, petisi yang menargetkan 10 ribu tanda tangan tersebut sudah ditanda tangani oleh 8.283 orang dan diharapkan mencapai target agar bisa segera ditindaklanjuti ke Kementerian Ketenagakerjaan.
Celah eksploitasi
Seorang perwakilan pekerja kurir menyebutkan, meski peran mereka penting untuk bisnis e-commerce, sayangnya kesejahteraan dan keamanan diri mereka tidak terjamin.
"Ada hal-hal di luar kendali kita, misalkan kendala toko tutup, atau barang kegedean jadi membahayakan untuk bawanya. Tapi kalau nggak dilakukan kami di-suspend. Belum lagi kalau COD, kurir jadi sasaran kalau barang nggak sesuai, padahal kita cuma antar. Pandemi begini juga kita di lapangan berisiko tinggi keselamatan kita. Untuk hal-hal seperti ini kita seperti karyawan, bukan mitra. Tapi apakah mereka memikirkan nasib mitranya?" curhatnya.
Dikatakan perwakilan Serikat Kerja 4.0 dari Emancipate Indonesia, Margianta Surahman, salah satu penyebab tidak layaknya kesejahteraan yang dialami para pekerja kurir adalah pola kemitraan antara perusahaan pemilik aplikasi dengan kurir yang dieksploitasi.
"Ada kekosongan hukum dengan pola kemitraan ini. Yang disebut setara dan sebagainya, tetapi pada kenyataannya tidak ideal sama sekali. Kami berupaya agar kemitraan semacam ini ada aturan yang jelas sehingga kami terus mengontak Kemenaker," ujarnya dalam live IG "Diskusi Nasib Kurir E-commerce: Sudah Jatuh Tertimpa Tangga" di akun @changeorg_id.
Pengamat hukum bidang ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada Nabiyla Risfa menyebutkan, tidak ada payung hukum yang mengatur hak-hak pekerja seperti kurir, dan masalah semacam ini sudah berlangsung lama dan dibiarkan berlarut-larut.
"Memang payung hukumnya gak ada. Satu-satunya yang sering disebutkan itu UU UMKM, tapi hubungan kemitraan tidak diatur dalam UU UMKM sehingga memang gak match. Dan seiring berjalan waktu, pola kemitraan ini jadi melebar ke mana-mana. Jadi ketika ada legal gap yang gak ada aturannya, celah ini akan dieksploitasi oleh orang-orang yang punya kepentingan," ujarnya.
Namun Nabiyla mengingatkan, menjadikan kurir sebagai karyawan perusahaan pemilik aplikasi hanya salah satu solusi. Dia menyarankan, bisa juga dibuat solusi berbeda dengan mengubah aturan hubungan kerja kemitraan.
"Jadi bukan mitranya yang dimasukkan ke dalam hubungan kerja, tapi hubungan kerjanya yang diregulasi. Hubungan seperti apa yang boleh dikategorikan sebagai kemitraan. Harus ada niat bagaimana mengatur ini," jelasnya.
"Kalau ngomongin idealnya, setidaknya: 1. Upah minimum yang layak, 2. Jam kerja yang sesuai dengan beban kerja ini sangat penting karena terkait kesehatan kerja, 3. Perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, dan itu berkaitan dengan jaminan sosial," tutupnya.
(rns/fay)