Memanasnya Cloud Computing di Indonesia
Hide Ads

Kolom Telematika

Memanasnya Cloud Computing di Indonesia

Fetra Syahbana - detikInet
Rabu, 15 Jul 2020 11:10 WIB
Cloud Computing
Memanasnya Cloud Computing di Indonesia (Foto: istimewa)
Jakarta -

Kebutuhan dan minat orang pada cloud computing di Indonesia meningkat pada tahun-tahun belakangan ini.

Raksasa telekomunikasi Telkom, misalnya, belum lama ini menginvestasikan anggaran sebesar Rp1 triliun (US$70,6 juta) untuk membangun lebih banyak data centre di seluruh tanah air. Sedangkan Google sudah membuka data centre di Indonesia baru-baru ini. Alibaba juga baru saja mengumumkan peluncuran layanan-layanan cloud-native terbaru di Indonesia, sebuah keputusan strategis yang didorong oleh meningkatnya kebutuhan terhadap layanan cloud computing dan upaya digitalisasi di seluruh Indonesia.

Meskipun investasinya terus tumbuh dengan luar biasa, pengadopsian cloud di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara seperti Singapura dan Malaysia. Tahun ini, peringkat Indonesia dalam Cloud Readiness Index dari Asia Cloud Computing Association malah turun satu peringkat ke posisi 12 dari peringkat 11 pada 2019.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mari kita telusuri langkah-langkah mengatasi hal ini

Dalam model sharing economy, konsep menyewa insfrastruktur TI - yang sangat esensial dalam menggerakkan fungsi paling mendasar sekalipun dalam sebuah bisnis, seperti email - masih relatif baru. Bahkan, model-model seperti ini hanya ada ketika perekonomian sedang kuat-kuatnya.

ADVERTISEMENT

Meskipun demikian, model ini simpel. Dengan adanya penyedia layanan public cloud perusahaan-perusahaan dapat meng-outsource sistem TI mereka (dan pada beberapa kasus, bahkan meng-outsource satu departemen) kepada sebuah jaringan cloud yang besar. Dengan menyewa public cloud, klien akan membayar biaya pemasangan dan selanjutnya biaya berlangganan bulanan. Layanan tambahan juga akan ada biayanya yang sifatnya bisa temporer atau permanen. Model ini membantu perusahaan-perusahaan menghindari pengeluaran besar di muka, yaitu untuk pembelian infrastruktur TI dan penggajian personil, tetapi membagi biaya tersebut dalam jangka waktu yang lebih lama.

Akan tetapi, ketika Indonesia bersiap menghadapi resesi ekonomi, banyak perusahaan mungkin ingin kejelasan tentang layanan public cloud yang tersedia, saat mereka memulai mengadopsi cloud. Mereka tak mau membuat penilaian berlandaskan hal yang tidak jelas.



Anda tak Bisa 'Memaksa' Cloud

Di masa-masa yang sulit, kita cenderung untuk mengulur-ulur hal-hal yang mesti kita lakukan: mobil yang biasanya diganti setiap dua atau tiga tahun, kini dipakai hingga lima tahun, atau lebih; renovasi rumah ditahan dulu karena rumahnya masih bisa ditinggali; pakaian yang ada dipakai untuk waktu yang lebih lama dan keinginan untuk beli pakaian baru dan bermerek terpaksa dihilangkan.

Dengan kata lain, aset pun harus 'bekerja' dengan lebih keras. Tapi ini adalah insting untuk bertahan hidup. Kita dapat melakukan ini karena kita telah membelinya secara langsung dan dengan demikian kekuatan untuk mengganti, memperbarui atau mempertahankan barang itu tetap berada di tangan kita. Itu sebabnya kepemilikan, dan keinginan untuk tetap memiliki, akan tetap kuat di masa ketika Anda dapat menyewa atau mengontrak apa saja yang ada saat ini. .

Cloud punya aturan yang berbeda. Hal yang tampak sebagai manfaat jangka pendek dapat berubah dengan cepat: langganan bulanan dengan suatu penyedia layanan public cloud bisa tiba-tiba berubah menjadi tagihan yang mengejutkan setelah sadar bahwa layanan itu tidak dapat diberhentikan saat diminta, dan investasi ini tidak dapat diubah menjadi aset berwujud yang bisa Anda gunakan kembali.

Menghentikan layanan dengan serta merta juga tidak mudah. Kontrak public cloud cenderung memiliki unsur 'Hotel California', sesuatu yang membuat Anda terlena. Semakin banyak data yang Anda miliki di cloud, semakin sulit Anda keluar. Anda juga tidak bisa memutus hubungan dengan data ini sepenuhnya, sebab Anda bergantung padanya - seperti menjalankan email, penjualan, software finansial dan apa pun yang telah Anda taruh di cloud.

Dalam tren yang kembali menghantui banyak perusahaan di Asia Tenggara, banyak yang terpengaruh begitu saja oleh popularitas cloud, dengan penelitian yang menunjukkan bahwa lebih dari 30% investasi software baru oleh vendor teknologi akan beralih dari 'cloud-first' ke 'cloud-only', menjadikan public cloud satu-satunya 'hotel' yang ada.


Bagaimana kita sampai di sini

Hasrat yang besar untuk mengadopsi cloud semakin dirasakan oleh para profesional bisnis dan teknologi yang merasa frustrasi dengan pengelolaan infrastruktur TI yang semakin kompleks. Peralatannya semakin mahal, tidak fleksibel, dan besar, butuh banyak vendor dan solusi, begitu juga dengan pengelolaannya. Pengelolaan infrastruktur TI selama bertahun-tahun telah menghabiskan sumber daya yang oleh para eksekutif seharusnya bisa diarahkan pada kegiatan bisnis di lini depan yang lebih bernilai.

Bagi departemen TI, bekerja terus menerus menghilangkan bug atau menambal kebocoran sistem, bekerja hingga sampai larut malam, upgrade di akhir pekan, dan berurusan dengan ekspektasi tinggi dari management dan staf telah membuat fungsi yang tadinya begitu dihargai dalam perusahaan mengalami demoralisasi.

Dan terkait dengan value atau return of investment (ROI), hardware tradisional membutuhkan penyegaran atau penggantian setiap tiga hingga lima tahun sekali. Ini adalah contoh utama dari keterikatan modal dan hardware yang tidak fleksibel. Mengingat skala dan ruang lingkup peralatan dan solusinya, data centre modern kurang terintegrasi dan harus lebih banyak tambalan atau bisa sama-sekali pincang. Sedangkan di cloud, Anda bisa mendapatkan upgrade terbaru dan efisiensi tanpa harus pusing

Jadi, apakah masalah terpecahkan? Tidak juga. Beberapa orang cerdas yang menciptakan public cloud menyadari bahwa teknologi yang sama dapat dibawa kembali ke lingkungan perusahaan, sehingga mereka dapat meminimalkan keresahan dan kesulitan yang ditimbulkan oleh infrastruktur tradisional.

Masuklah era hyperconverged infrastructure (HCI) dan private cloud

Dengan HCI, ketergantungan pada hardware dapat diminimalisir karena software dan aplikasi bisa ditambahkan atau di-upgrade menggunakan model membayar sesuai dengan apa yang Anda gunakan (pay-as-you-go) atau model membayar sesuai dengan perkembangan atau pertumbuhan bisnis Anda (pay-as-you-grow). Artinya, bisnis tak perlu terjebak dengan infrastruktur yang sudah ketinggalan zaman. Sehingga Ketika Anda memasuki masa-masa yang sulit, ada aset yang tersedia untuk Anda berdayakan.

Saya tidak asal bicara. Tengoklah hasil studi 451 Research yang menemukan bahwa 90 persen perusahaan di Singapura, Hong Kong, Thailand, Indonesia dan Malaysia sudah mempunyai lingkungan multiple cloud, dalam siap melakukan transisi dari operasional yang masih terpisah-pisah ke hybrid model; dan lebih dari 50 persen perusahaan ini sudah benar-benar hybrid. Kelihatannya mereka ini juga sudah menyadari bahwa meraih nilai maksimum dari infrastruktur Anda membutuhkan portofolio yang seimbang.

Ada beberapa elemen positif di public cloud, tetapi prinsip bisnis paling mendasar masih berlaku, 'jangan letakkan semua telur Anda dalam satu keranjang'. Ketika compliance modern dan kedaulatan data semakin meningkat dan menguat, izin penggunaan public cloud akan dibatasi, walaupun model rental public cloud sangat masuk akal.

Di era investasi teknologi yang banyak unsur eksplorasi, di mana banyak perusahaan bereksperimen dengan chatbot, Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT) dan banyak lagi, public cloud dimaksudkan untuk tujuan yang besar tetapi terbatas. Ketika layanan-layanan digital baru diluncurkan, seringkali tidak jelas sumber daya TI apa yang diperlukan untuk mengelolanya, atau apakah layanan tersebut akan tetap ada dalam waktu satu tahun. Berinvestasi dalam infrastruktur dengan tujuan semacam itu seperti membeli tiket musiman untuk jenis olahraga yang belum pernah Anda tonton sebelumnya, atau membayar keanggotaan gym yang kemungkinan besar tidak akan pernah Anda butuhkan.

Public cloud adalah platform ideal untuk mencoba hal-hal seperti itu, termasuk layanan inelastis lainnya, sementara informasi yang menjadi hak milik Anda tetap tersimpan aman di tempat Anda sendiri. Anda bisa meraih manfaat dari public cloud tanpa tanpa penetapan harga yang ketat, dan hal-hal yang berharga milik Anda tetap terjamin keamanannya, serta pada saat yang sama mampu membuat teknologi Anda menjadi lebih canggih bila perlu.

Bisnis selalu berusaha untuk mendapatkan keseimbangan yang tepat antara belanja modal (capex) dan belanja operasional (opex) dan memaksimalkan ROI. Ketika perlambatan ekonomi global ini berlanjut, adanya kebebasan dan fleksibilitas untuk melakukan padu-padan (mix and match), dan membuat struktur yang paling ideal untuk bisnis Anda akan membantu meningkatkan rasa percaya diri dan kepastian, serta membantu mengatasi badai yang akan datang.

Hybrid cloud? Jangan khawatir, atau mungkin sebaliknya. Itu pilihan Anda!

*) Fetra Syahbana adalah Country Manager for Nutanix Indonesia.

Halaman 2 dari 2
(fay/fay)