Mita (23), konsumen ojol yang ditemui detikINET mengaku akan lebih memilih kembali menggunakan kendaraan pribadi jika tarif ojol naik drastis.
"Alasan saya naik gojek supaya hemat. Kalau naiknya drastis banget, saya lebih baik pakai kendaraan pribadi lagi," tuturnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengaku tak bisa memperkirakan berapa tarif yang ideal. Asalkan kenaikannya jangan sampai lebih dari Rp 5.000.
"Kalau tarif yang ideal saya nggak tahu, yang penting kenaikannya nggak lebih dari Rp 5.000," tukasnya.
Untuk diketahui, saat ini Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tengah menggodok tarif batas bawah ojol. In tidal lain untuk menyejahterakan pengemudi.
Dalam pembahasannya terdapat beberapa angka usulan dari berbagai pihak terkait tarif batas bawah. Salah satunya, dari pihak driver. Mereka mengusulkan agar tarifnya berada di kisaran Rp 3.100/km.
Pendapat Mita sejalan dengan hasil study Research Institute of Socio Economic Development (RISED). Riset tersebut mengumumkan sebesar 71 persen konsumen hanya mampu menoleransi kenaikan pengeluaran kurang dari Rp5.000 per hari.
Idealnya, jika melihat faktor willingness to pay dari berbagai sumber riset yang tersedia, kenaikan yang bisa ditoleransi adalah yang membuat konsumen mengeluarkan tambahan uang kurang dari Rp5.000 per hari, ucap Pengamat Ekonomi Digital, Fitra Faisal, kepada media, Selasa (19/03)
Dengan jarak tempuh rata-rata konsumen sebesar 8,8 km per hari, lanjut dia, berarti kenaikan tarif yang ideal adalah maksimal Rp600 per kilometer atau maksimal naik menjadi Rp2.000 per kilometer.
Atas dasar itu penentuan tarif ojol yang akan dituangkan dalam Keputusan Menteri (Kepmen) sebagai tindak lanjut dari Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) terkait ojol harus memperhatikan banyak aspek.
Pemerintah harus paham bahwa bisnis digital ini melibatkan keseluruhan aktor dalam ekosistem. Ketika satu variabel dalam ekosistem ini terganggu maka efeknya langsung terasa pada keseluruhan ekosistem, Fitra menerangkan.
Riset yang akurat diperlukan dalam menyusun kebijakan terkait ekonomi digital. Disrupsi digital yang merupakan salah satu tantangan terbesar perekonomian, bisa diberdayakan untuk melakukan sebuah lompatan kuantum untuk membentuk kemakmuran berlipat di masa depan, tegasnya.
Semangat itu yang kemudian menjelaskan bahwa ke depan, perdebatannya bukan apakah industri itu perlu diatur atau tidak. Namun bagaimana pengaturan yang paling tepat untuk diberlakukan agar teknologi membawa manfaat secara optimal kepada Indonesia, imbuhnya. (asj/asj)