Mendengar informasi tersebut, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengaku belum mengetahui secara persis kejadian yang dialami oleh Twitter. Meski demikian, pihaknya telah menginstruksikan tim agar menelusuri kasus penyalahgunaan data pengguna oleh Aleksandr Kogan.
"Saya belum tahu. Saya sudah bilang ke teman-teman untuk mengeceknya," ucap Rudiantara ditemui di kediamannya, Jakarta, Selasa sore (1/5/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Twitter Juga Jual Data ke Pembobol Facebook? |
Diberitakan sebelumnya, Twitter diketahui menjual akses data miliknya kepada akademisi asal Cambridge University bernama Aleksandr Kogan. Pria tersebut notabene juga terlibat dalam penyalahgunaan informasi mengenai 87 juta pengguna Facebook untuk kepentingan kampanye Donald Trump.
Kogan mendapat akses terhadap data mengenai unggahan di Twitter lewat firma buatannya bernama Global Science Research (GSR). Akses tersebut memungkinkan GSR untuk menjangkau seluruh unggahan dalam periode tertentu dalam sehari pada 2015 lalu.
"Pada 2015, GSR mendapatkan akses API selama satu hari terhadap sampel acak dari kicauan para user yang dilakukan pada periode Desember 2014 hingga April 2015," ujar Twitter.
"Berdasarkan laporan terkini, kami telah melakukan penyelidikan internal dan tidak menemukan data sensitif dari user yang diakses (oleh GSR)," katanya menambahkan, sebagaimana detikINET kutip dari Bloomberg, Selasa (1/5/2018).
Selain itu, media sosial yang didirikan pada 2006 tersebut juga mengaku bahwa GSR membayar untuk mendapatkan akses tersebut. Meski begitu, Twitter tidak memberikan informasi lebih lanjut mengenai apa yang dilakukan oleh Kogan setelah ia mendapatkan akses unggahan pengguna media sosial tersebut.
Kogan diketahui merupakan pencipta dari aplikasi bernama This Is Your Digital Life, sebuah kuis kepribadian yang digunakan untuk memanen data penggunanya, serta teman-temannya di Facebook. Informasi tersebut pun diserahkan kepada firma analisis data asal Inggris, Cambridge Analytica.
Sebagaimana sempat diberitakan sebelumnya, Cambridge Analytica memanfaatkan data milik 87 juta pengguna Facebook untuk menjalankan kampanye digital bagi Donald Trump ketika maju sebagai calon presiden Amerika Serikat pada 2016 lalu. (agt/afr)











































