**
Persidangan kasus e-KTP yang panas saat ini, mengingatkan penulis akan beberapa fitur yang sebaiknya ada agar kita sebagai konsumen dapat memanfaatkan e-KTP secara lebih aktif dan luas. Bukan hanya sebagai kartu identitas biasa yang tersimpan di dompet beserta kartu-kartu lainnya.
Seperti kita ketahui, data yang tercetak dan tersimpan di dalam e-KTP antara lain: NIK, nama lengkap, jenis kelamin, tempat lahir, tanggal lahir, jenis kelamin, golongan darah, alamat, agama/kepercayaan, status perkawinan, jenis pekerjaan, kewarganegaraan, foto, tanda tangan, dan informasi sidik jari jempol dan telunjuk kanan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kartu (yang Seharusnya) Pintar
Selain kapasitas memori kartu yang terbatas, kelemahan krusial lain adalah sulitnya mesin atau alat untuk membaca data yang tersimpan. Data yang telah tercetak di kartu sebaiknya bisa juga dibaca oleh alat untuk keperluan yang lebih luas. Sedangkan akses menulis data ke dalam e-KTP tetap harus rahasia dan hanya menjadi kewenangan Dukcapil saja.
![]() |
Sebagai contoh, jika kita perhatikan sering terjadi ketidaksesuaian nama penumpang sebenarnya pada manifest kapal penyeberangan. Nama yang tercantum sebagai manifest biasanya hanya nama depan, umur, dan kota asal. Tidak lengkap. Hal yang sangat manusiawi terjadi jika proses pencatatan nama penumpang dilakukan secara manual dengan membaca data yang tercetak di kartu.
Jika Kemendagri mau membuka algorithma membaca data yang tersimpan di dalam e-KTP, data yang sama dengan yang tercetak di atas kartu, dan menyerahkan implementasi seluas-luasnya kepada programer-programer lokal, maka manfaat e-KTP akan sangat terasa dengan biaya murah.
Dengan algorithma membaca data e-KTP yang terbuka dan dengan memanfaatkan hardware terbuka seperti Raspberry maupun Arduino yang murah maupun handphone dengan fitur NFC yang semakin murah, maka tidak mustahil developer lokal Indonesia mampu memproduksi alat pembaca e-KTP dengan biaya yang murah.
Kembali ke contoh manifest kapal penyeberangan di atas. Cukup dengan sekali tap, maka pihak pelayaran dapat merekam data penumpang secara benar, lengkap dan cepat. Kecepatan dan ketepatan data yang sangat dibutuhkan terutama jika terjadi lonjakan luar biasa penumpang saat libur Lebaran.
![]() |
Dan seandainya e-KTP bisa ditambahkan data e-money dari berbagai bank, sungguh tidak mustahil data manifest setiap penumpang Transjakarta, KRL Commuter Line, atau bahkan MRT akan dengan cepat dapat dicatat dan disajikan dengan mudah dan murah.
Sebagai perbandingan, MyKad Malaysia selain sebagai kartu identitas, dapat digunakan juga sebagai SIM, dokumen perjalanan, penyimpanan informasi kesehatan, e-cash, ATM, touch'n go, dan sertifikat digital.
Hal ini mungkin menjadi salah satu pencetus lahirnya ide Kartu Indonesia Satu (Kartin1) dari Dirjen Pajak yang menjanjikan kartu NPWP yang smart dengan mengintegrasikan NPWP, paspor, SIM, info BPJS, ATM, eMoney dan eToll.
Kalau semua lembaga pemerintahan berpikiran sama bayangkan saja dompet kita semakin tebal yang bukan karena uang tapi karena diisi kartu-kartu pintar semacam e-KTP, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, kartu BPJS, Kartu Indonesia Satu, dan entah apa lagi nanti.
Verifikasi Data Online
Selain membaca data e-KTP secara fisik, fasilitas penting lain yang seharusnya disediakan adalah verifikasi data e-KTP secara online, tanpa akses fisik ke e-KTP. Implementasi sangatlah luas. Contoh ketika membeli tiket pesawat terbang, pengajuan kartu kredit, memesan hotel, pendaftaran kartu seluler prabayar, dan masih banyak lagi secara online.
Dengan adanya fasilitas verifikasi data e-KTP secara online, maka masing-masing penyedia layanan dapat memanfaatkan untuk mencegah pengisian data yang tidak lengkap atau bahkan asal-asalan dengan cepat dan mudah. Untuk hal ini, idealnya pengguna telah memiliki identitas digital yang bisa sebagai bukti otentifikasi identitas untuk layanan digital.
![]() |
Membangun infrastruktur untuk melayani verifikasi data online untuk dapat digunakan oleh sebanyak mungkin elemen masyarakat, tidaklah mudah dan murah jika infrastruktur ini didesain secara sentralistik. Selain mahal juga rawan terjadinya kongkalikong e-KTP jilid 2.
Pendekatan terbaik adalah desain infrastruktur secara desentralisasi. Internet yang kita nikmati saat ini didesain dan dibangun dengan menggunakan metode ini, sehingga tidak heran internet menjadi lebih murah dan lebih baik seiring dengan berjalannya waktu.
Infrastruktur yang tersebar bukan berarti data kependudukan yang bersifat sangat rahasia ini ikut tersebar. Data e-KTP yang tercetak seperti NIK, nama lengkap, tanggal lahir dan alamat dengan algorithma tertentu dapat menghasilkan sebuah enkripsi sebagai data checksum (hash). Enkripsi ini dibuat secara satu arah, yaitu mustahil jika enkripsi itu 'dibuka' dapat menghasilkan data lengkap e-KTP seperti di atas.
Database pasangan data NIK and data checksum inilah yang kemudian didistribusikan secara terstruktur ke server-server mitra seperti jaringan milik APJII (Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia) atau penyedia data center yang tersebar di seluruh Indonesia atau bahkan para developer pemilik server yang sukarela menyisihkan sedikit kapasitas servernya.
Teknologi yang bisa dimanfaatkan dengan sedikit modifikasi pun tersedia secara terbuka di internet, seperti DNSSec maupun DLT/Blockchain yang baru-baru ini mengguncang dunia IT.
Pengguna cukup melakukan pengisian data sesuai KTP seperti biasa, kemudian sistem akan memverifikasi pasangan data NIK dan data checksum yang dibuat berdasarkan algorithma tersebut dengan pasangan data NIK dan data checksum yang tersimpan di jaringan server mitra, tanpa perlu mengakses database pusat e-KTP secara langsung. Pendekatan ini secara tidak langsung akan meminimalkan database e-KTP terekspos ke publik sehingga menjauhkan dari tangan-tangan jahil di internet.
Teknologi, Seharusnya Murah dan Bermanfaat
Teknologi yang terbuka adalah kunci dari perkembangan dan penerapan teknologi itu sendiri bagi kemudahan kita sebagai konsumen. Teknologi yang tertutup dan cenderung eksklusif pada segelintir vendor akan menghambat pemanfaatan teknologi karena masalah biaya dan pengembangan lebih lanjut. Selain itu, juga rawan monopoli atau pun kongkalikong pada proses pengadaan.
![]() |
Seandainya pihak yang berwenang mau untuk membuat kebijakan untuk membuat teknologi e-KTP menjadi lebih terbuka, tanpa mengesampingkan aspek keamanan data, serta mau membuka diri ke programer-programer lokal untuk melakukan implementasi dengan segala kreativitasnya.
Serta menyerahkan pada pasar untuk menghadirkan layanan yang lebih baik dan murah, maka tidaklah mustahil masyarakat Indonesia akan merasakan banyak manfaat e-KTP tanpa harus membebani lagi uang pajak yang telah dikumpulkan dengan susah payah.
Penulis, Satriyo Wibowo adalah pegiat IPv6 yang fokus pada isu-isu Cyber Jurisdiction. Sementara S. Deta Harvianto adalah konsultan ERP, penggemar open source, open hardware dan teknologi terkini. (rou/rou)