Email tersebut ternyata dikirimkan oleh salah satu bos Uber, yakni Chief Technology Officer Thuan Pham, tak lama setelah Trump memenangkan Pilpres AS.
Seperti dilaporkan Business Insider dan dikutip detikINET, Kamis (26/1/2017), email ini awalnya hanya ditujukan ke sekelompok kecil staf Uber, namun kemudian dengan cepat menyebar di seluruh internal Uber -- dan pada akhirnya bocor.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia bahkan membandingkannya dengan kemunculan diktator seperti Mao Tse-dong di China dan Khmer Merah di Kamboja setelah Perang Vietnam.
Bocornya email dari petinggi Uber ini ternyata sebagai bentuk protes dari internal perusahaan menyusul terpilihnya Uber sebagai salah satu perusahaan teknologi yang kini terpilih untuk 'dekat' dengan kepemimpinan Trump.
Apalagi, CEO Uber, Travis Kalanick, baru saja diangkat menjadi salah satu dari 19 eksekutif yang menjadi penasihat Trump berkaitan dengan isu ekonomi. Di antara 19 eksekutif tersebut ada juga CEO Tesla Elon Musk dan CEO Disney Bob Iger.
Pandangan dari salah satu eksekutif perusahaan swasta seperti ini mencerminkan bagaimana Silicon Valley harus berupaya berdamai dengan sang presiden yang dinilai sangat tidak memahami industri teknologi.
Bahkan Uber, yang biasanya sangat vokal dan taktik bisnisnya kerap menjadi kontroversi dengan pemerintah, tak rela perusahaannya kini terlihat dekat dengan Trump, apalagi jika sampai dianggap pro terhadap kebijakannya.
Terpilihnya Uber sebagai salah satu perusahaan yang berhubungan dengan administratif pemerintahan Trump langsung menjadi headline pada pekan lalu dan menuai suara sumbang. Sekelompok pendemo bahkan mendatangi kantor pusat Uber di San Francisco, mencela 'kolaborasi' Uber dengan Trump.
Uber langsung merespons protes tersebut, berupaya meredam kekhawatiran dengan mengatakan bahwa sikap perusahaannya tidak akan berbeda dari pemerintahan sebelumnya.
"Sebagai sebuah perusahaan, kami berkomitmen untuk bekerjasama dengan pemerintah berkaitan dengan isu terkait transportasi, pengemudi, pengguna layanan Uber dan kota di mana kami beroperasi. Semuanya masih akan tetap sama seperti ketika kami bekerja dengan pemerintahan Obama," sebut Uber.
Nyatanya, pernyataannya tersebut sepertinya tak cukup. Di internal karyawan Uber sendiri, sebagian besar merasa khawatir perusahaan mereka akan dikaitkan dekat dengan Trump yang dikenal dengan komentar kontroversialnya, mulai dari soal imigran dan sampai soal wanita yang membuat publik marah.
"Uber sangat bangga dengan keberagamannya. Dihubung-hubungkan dekat dengan Trump membuat citra kami buruk," kata salah satu karyawan yang menolak disebutkan namanya.
"Saya malu mengetahui CEO Uber membuat orang-orang di luar sana melihat kami akrab dengan pemerintahan ini. Saya tidak akan meninggalkan Uber, tapi akan benar-benar mengawasi arah perusahaan ini," protes karyawan lainnya. (rns/rou)