Jerman Galak Perangi Hoax
Hide Ads

Jerman Galak Perangi Hoax

Rachmatunnisa - detikInet
Senin, 19 Des 2016 12:47 WIB
Ilustrasi (Foto: Thinkstock)
Jakarta - Peredaran hoax alias kabar bohong yang meresahkan tak hanya terjadi di Indonesia. Pemerintah Jerman pun mengalaminya dan menyatakan akan galak menghalau peredaran hoax.

Dalam sebuah wawancara dengan Menteri Keadilan Jerman Heiko Maas bersikeras bahwa Hakim dan Jaksa di Jerman harus segera menetapkan hukum terkait peredaran berita bohong yang disebarkan di jejaring sosial seperti Facebook.

Maas sudah lama mengingatkan bahwa undang-undang anti pencemaran nama baik di Jerman lebih ketat ketimbang di Amerika Serikat (AS). Karenanya, perusahaan teknologi AS harus menghormati hukum yang berlaku di negara setempat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kebebasan berbicara tidak membenarkan adanya fitnah. Fitnah dan gosip jahat tidak tercakup dalam kebebasan berbicara," ujar Maas seperti dikutip dari Digital Trends, Senin (19/12/2016).

Untuk itu, Maas juga menyerukan untuk menghalau hate speech atau konten kebencian yang beredar di Facebook Twitter dan platform lain sejenisnya. Beberapa hari sebelumnya, sejumlah pejabat tinggi Jerman lainnya juga sudah meminta tindakan serius untuk menangkal serangan hate speech dan kabar bohong di jejaring sosial.

"Otoritas keadilan harus mengadilinya, bahkan untuk kasus yang terjadi di internet. Siapa saja yang berusaha memanipulasi diskusi politik dengan kebohongan harus berhati-hati dan siap menerima konsekuensinya," sebutnya.

Ditambahkannya, perusahaan internet seperti Facebook harus punya tanggung jawab sosial dan berperan aktif menjaga stabilitas komunitas para penggunanya.

"Facebook mendapat banyak uang dari berita bohong. Perusahaan yang mendapat miliaran uang dari internet harus punya tanggung jawab sosial. Hoax dan pencemaran nama baik harus langsung dihapus setelah dilaporkan. Dan mereka harus memudahkan pengguna untuk melaporkan hoax," cetusnya.

Di Indonesia

Revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang resmi diberlakukan bulan lalu sedikit membawa angin segar. Perubahan antara lain terjadi pada pasal 27 tentang pencemaran nama baik, agar jangan sampai memakan korban seperti kasus Prita Mulyasari.

Revisi pasal 27 memang sudah lama diupayakan untuk direvisi, bahkan ada saran dihapus saja dimana UU ITE lebih baik murni untuk mengatur transaksi elektronik. Sedangkan untuk kasus pencemaran nama baik dimasukkan ke KUHP. Meski dirasa belum ideal, revisi UU ITE yang baru sudah berlaku dan memang perlu ada aturan untuk mengatur kebebasan berpendapat.

"Memang tetap perlu ada pembatasan kebebasan berpendapat, perlu ada konsekuensi dari orang yang ngomong ngawur atau sengaja nipu," sebut Donny.

Apalagi belakangan, banyak berita hoax bermunculan di internet dan dampaknya bisa berbahaya. Donny berharap selain dimunculkan aturan-aturan, literasi digital dan etika masyarakat di dunia maya perlu terus ditingkatkan. Misalnya supaya tidak menyebarkan berita bohong.

"Intinya adalah kebebasan perlu dilindungi, jadi pasal 27 yang ada sekarang jangan sampai di-misuse, misalnya whistle blower malah ditangkap. Tapi tetap orang-orang berekspresi ada batasnya dan ada etikanya," pungkas Donny. (rns/rou)
Berita Terkait