Adalah cloud computing yang dianggap jadi sosok sentral dalam lahirnya liberalisasi teknologi. Tertutama bagi para usaha kecil dan menengah (UKM) ataupun bagi perusahaan yang belum mencicipi teknologi.
"Saya ingat dulu kalau mau mulai mengadopsi teknologi harus cari gimana beli servernya, beli PC, beli network, karena dulu perusahaan kerjaannya narik kabel, pasang WiFi. Tapi sekarang tidak lagi, istilahnya (kalau urusan WiFi) semua perusahaan harus punya lah," kata Andreas Diantoro, Presiden Direktur Microsoft saat berbincang dengan detikINET di sela Microsoft Worldwide Partner Conference 2016 di Toronto, Kanada.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara dari segi teknologi, bisa memanfaatkan berbagai layanan dari penyedia layanan teknologi lewat sistem berlangganan. Hal ini justru bakal menghilangkan capital expenditure (capex/belanja modal) yang tinggi di awal dan mengopernya menjadi operational expenditure (opex) per bulan.
"Dengan adanya cloud, adopsi teknologi jadi lebih murah. Kalau dulu kita harus investasi untuk 3-5 tahun ke depan, dalam bentuk capex yang besar sekali. Sekarang semuanya bisa dibagi-bagi, dibayar semua per bulan, jadi zero capex karena semuanya masuk opex, dan cash flow jauh lebih aman," Andreas menambahkan.
![]() |
Gabriella Schusster, Corporate Vice President Worldwide Partner Group menyebut cloud telah mengubah banyak hal, terutama dan yang paling terlihat adalah transformasi bisnis yang sudah mulai menjamur.
Sebut saja Uber dan AirBnb -- yang meski mengusik sejumlah pihak lantaran bisnisnya terancam -- namun harus diakui bahwa kedua layanan itu ikon startup digital dan sangat popular bagi kalangan penggiat digital lifestyle.
"Teknologi telah berubah, industri berubah dan customer pun ikut berubah dalam banyak hal," ujar Gabriella di atas panggung Microsoft Worldwide Partner Conference 2016.
Pasar cloud pun disebut Gabriella bakal terus meroket seiring berjalannya waktu dan semakin meleknya orang-orang dan organisasi/perusahaan akan teknologi. Menurut data Microsoft, nilainya bisa menembus angka USD 500 miliar pada tahun 2020.
"Cloud tak lagi menjadi tren baru, tapi sudah sesuatu yang normal (harus dimiliki). Dan Anda harus cepat mengejar peluang itu," tukasnya.
Microsoft sendiri tengah menggencarkan Cloud Solution Provider (CSP) di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Program ini memungkinkan perusahaan untuk memanfaatkan beragam solusi bisnis, mulai dari Office 365, Azure, SharePoint, Skype, CRM online dan lainnya. Dimana biayanya berdasarkan pay per use alias bayar kalau terpakai.
Sjafril Effendi, Presiden Direktur Mitra Integrasi Informatika (MII) selaku partner Microsoft pun berbagi pengalamannya terkait gaya berbisnis penyedia layanan TI yang juga berubah lantaran cloud.
Dimana beberapa tahun lalu, MII ada proyek implementasi Enterprise Resource Planning (ERP) dengan menerjunkan sebanyak sembilan orang yang harus stay di kantor perusahaan yang jadi pelanggannya selama enam bulan.
Namun sekarang cuma tiga orang saja yang harus stay di kantor pelanggan, sedangkan enam orang sisanya cukup di markas MII dan dikerjakan dengan waktu lebih cepat.
"Karena kalau produk cloud sudah ada template, tinggal kustomisasi sedikit, jadi mempercepat proses implementasi. Sementara yang diterjunkan ke kantor pelanggan hanya dari tim desain, arstektur, testing, QA (Quality Assurance), bagian setting cukup di kantor," cerita Syafril.
"Dengan digital transformation pola kerja kita berubah, dan akan juga berubah ke harga yang ditawarkan k customer. Misalnya implementasi on premise bisa sampai Rp 1 miliar, tapi kalau cloud cuma Rp 600 juta. Kita belajar dari partner di Singapura dan Malaysia, mereka bahkan implementasi sampai Amerika dan UK," lanjutnya.
Kehadiran Mitra Integrasi Informatika di event Microsoft Worldwide Partner Conference 2016 pun terbilang spesial. Sebab mereka menerima award sebagai Partner of the Year mewakili Indonesia.
![]() |
Microsoft Worldwide Partner Conference 2016 merupakan pesta tahunan bagi para partner Microsoft di seluruh dunia, sekaligus untuk jadi ajang update teknologi, sharing pengalaman, sampai networking untuk membuka peluang bisnis baru. Dan peluang bisnis baru berkolaborasi dengan berbagai perusahaan di seluruh dunia pun sangat dimungkinkan lewat cloud pada hajatan ini.
"Dulu ketika ketemu partner dari Amerika misalnya, ya cuek saja. Banyak ngomong-ngomong juga percuma, soalnya pas pulang juga gak bakal connect. Tapi sekarang ada cloud jadi connect, karena ditaruh di App Source, kita bisa beli dan implementasi aplikasi tersebut di Indonesia," ujar Syafril.
Orang TI vs Orang Bisnis
Perubahan lain yang juga dirasakan dalam implementasi TI untuk pasar korporat adalah terkait pentingnya memiliki Subject Meter Expert (SME). Pasalnya, para partner prinsipal ini sekarang jualan layanan dan solusi kebanyakan bukan lagi ke orang TI.
Kalau dulu mungkin iya, hampir 90% produk teknologi itu pada ujungnya 'apa kata orang IT saja', sedangkan user bisnis tinggal ikut. Tetapi hari ini justru yang memimpin adalah orang business user, pihak inilah yang punya kekuasaan lebih dominan.
"Dia (business user-red.) tinggal bilang, gw mau aplikasinya kaya gini, atau dikoneksiin ke sini dan sini. Jadi malahan orang TI sekarang lebih banyak diam, meski uangnya di sana, stationerynya di sana, tapi arahnya mau ke mana itu dari orang business user," ungkap Syafril.
"Jadi orang bisnis ngomongnya bukan lagi konfigurasi, tapi solusinya apa dan seberapa cepat deployment-nya. Karena kompetitor sebelah sudah ada, maka mereka larinya akan memilih partner untuk mengejar waktu dibanding in-house (mengembangkan aplikasi sendiri-red.)," tutupnya. (ash/rou)