Beberapa perusahaan β khususnya di Indonesia β ketika ditanyakan soal transformasi digital mungkin ada yang menjawab, "Oh, perusahaan saya sudah bertransformasi menjadi perusahaan digital. Buktinya saya sudah mulai bikin situs untuk jualan produk".
Namun apa iya, hanya dengan membuka situs atau menjamah e-commerce sudah lantas menjadikan perusahaan bertransformasi secara digital? Jawabannya, tidak!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, perusahaan atau business owner harus mengerti dulu siapa customer mereka. Kedua, mereka juga harus mengerti seperti apa behavior customer tersebut.
Selanjutnya, menganalisis kebutuhan customer. Sehingga dari tiga tahap tersebut diharapkan bisa menciptakan produk untuk memenuhi kebutuhan customer.
Nah, kalau sudah melewati tahap ini baru perusahaan bisa dikatakan masuk ke transformasi digital sesungguhnya, dimana mereka bisa memprediksi kebutuhannya seperti apa serta dapat menciptakan produk-produk baru untuk memenuhi predictive needs (kebutuhan yang bisa diproyeksikan).
"Itu baru dari sisi customer. Dari situ customer kami itu harus mulai melihat apakah karyawan mereka diberikan pemberdayaan atau tidak -- bahasa kerennya empowerment -- untuk melayani pelanggan, memenuhi kebutuhan pelanggan, serta predictive needs konsumen ke depan. Ketiga, reinvent produktivitas dan bisnis proses. Kalau orang-orang dari konsumen mereka sudah siap, bisnis proses apakah sudah disiapkan untuk digital transformation juga atau tidak. Dan keempat adalah transformative product," papar Andreas.
"Jadi pertama adalah consumer behaviour. Kedua kita harus mengerti karyawan untuk melayani konsumen tersebut. Productivity dan bisnis juga harus diubah untuk melayani digital transformation dan keempat adalah produk kita apakah transformatif enough untuk melayani transformasi tersebut. Jadi digital transformation pada dasarnya adalah satu digital loop," ungkapnya saat ditemui detikINET di sela Microsoft Worldwide Partner Conference di Toronto, Kanada.
Toko Online = Transformasi Digital?
Data Microsoft menyebut bahwa sekarang ini ada sekitar 57% dari perusahaan-perusahaan di seluruh dunia sudah hijrah ke digital. Namun lebih tepatnya melakukan sebagian peran untuk transformasi digital, naik dari tahun lalu yang berada di angka 49%.
Hanya saja yang cukup mengagetkan adalah, meski mengaku sudah go digital, sepertiga di antaranya ternyata dianggap gagal dalam mewujudkan transformasi digital yang diimpikan.
Di Indonesia misalnya, banyak perusahaan mungkin merasa sudah bertransformasi ke digital lewat cara brick to click. Padahal itu saja tak cukup. Sebab, hanya memindahkan toko fisik ke online. Sedangkan elemen-elemen lain yang juga penting malah dikesampingkan.
![]() |
"Seperti misalnya, kamu kenal konsumenmu gak? Kamu mengerti konsumenmu gak? Kemudian bisa memprediksi kebutuhan konsumenmu gak? Nah, itu belum sampai. Jadi brick to click itu bukan full digital transformation, tetapi baru bagian kecil dari digital transformation," lanjut Andreas.
"Partner harus bisa mengerti customernya dahulu. Karena sekarang banyak perusahaan yang sifatnya brick terancam dengan perusahaan yang sifatnya click. Tahu sendiri dengan cerita Uber, Go-Jek. Dimana dengan kedatangannya banyak perusahaan under pressure, jadi mereka (perusahaan yang sifatnya brick-red.) harus transform dan mengejar perusahaan baru ini," tegasnya.
Sjafril Effendi, Presiden Direktur Mitra Integrasi Informatika selaku partner Microsoft menambahkan, rata-rata perusahaan di Indonesia sejatinya sudah cukup banyak yang berjalan ke arah otomatisasi.
Di sektor perbankan misalnya, namun akan sangat disayangkan jika 'mazhab' transformasi digital yang mereka pahami hanya sebatas bahwa transformasi digital cukup diwakili oleh adanya layanan internet dan mobile banking. Jika hanya dua layanan itu saja mungkin ketika kita berbicara soal transformasi digital 5 tahun lalu mungkin masih konkret, tapi sekarang tidak lagi.
"Jadi sebenarnya masih banyak yang bingung mendefinisikan digital transformation, dimana rata-rata masih sebatas otomatisasi. Belum sampai memikirkan cunsumer behavior, mengubah orang-ubah di dalam perusahaan yang sudah kerja 10 tahun, 15 tahun, internal process yang juga masih gaya lama sehingga kalau lihat di banking terjadi perkawinan dengan FinTech," kata Sjafril.
Jadi pada intinya adalah transformasi digital tak sebatas punya situs atau toko online. Seperti yang telah dijelaskan Andreas, partner prinsipal harus mengerti siapa konsumennya, behaviour seperti apa, dan mereka harus bisa memberdayakan karyawan untuk melayani konsumennya tersebut. Selanjutnya adalah giliran proses bisnis dan produktivitas yang harus di-reinvent, dan produknya juga harus bertransformasi untuk melayani konsumen.
Senjata Utama Microsoft
Transformasi digital ini sendiri merupakan arahan utama CEO Microsoft Satya Nadella ketika memberi sambutan di pembukaan Microsoft Worldwide Partner Conference 2016 di Toronto. Sebab Satya sangat yakin bahwa masa depan membutuhkan suatu transformasi digital bagi seluruh perusahaan.
Dari segi teknologi sendiri, Microsoft punya siap menjawab kebutuhan pasar akan suatu tuntutan transformasi digital. "Mungkin yang terdepan, karena kita punya segala macam. Office sebagai productivity suites tool termasuk produk turunannya, sales order otomation. Kemudian kita juga punya infrastruktur yang berupa Azure, bisa berupa Infrastructure as a Service (IaaS), Platform as a Service (PaaS) di dalam Azure dan itu semua bisa dirangkum dengan Power BI. Dimana dari board room sampai boiler room itu bisa dipantau end to end, CEO bisa lihat secara real time sehingga bisa membuat keputusan dengan cepat," Andreas menjelaskan.
Terakhir, kekuatan Microsoft untuk menjawab tantangan transformasi digital adalah dengan kehadiran Dyncamics 365 yang menjadi perekat semuanya.
"Karena apa? Kita punya ERP (Enterprise Resource Planning) yang sifatnya back end β seperti finance, HR dan segala macam. Kita juga punya CRM (Customer Relationship Management) yang sifatnya front end, karena langsung berhubungan dengan customer. Dan itu digabungkan dalam satu paket menjadi Dynamics 365. Semua Office 365, Power BI, Cortana, Azure itu dirangkum semua dalam satu kesatuan yang disebut digital transformation dengan produk yang semuanya end to end, semuanya ada di Microsoft," ungkap Andreas.
"Dan itu merupakan senjata utama Microsoft untuk membantu konsumen dan partner kita, untuk bisa membuat, menciptakan untuk pelanggan-pelanggannya sendiri. Itulah tujuan kita, Microsoft dan partnernya di seluruh dunia," pungkasnya. (ash/fyk)
