Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network
detikInet
Kesamaan Uber dan Go-Jek: 'Bakar Uang' di Depan

Kesamaan Uber dan Go-Jek: 'Bakar Uang' di Depan


Fino Yurio Kristo - detikInet

Foto: Febri Angga Palguna
Jakarta - Bukan hal mudah membangun startup, meski berhasil tenar dan punya nama besar. Startup seperti Uber atau di Indonesia contohnya adalah Go-Jek, memiliki kesamaan nasib.

Apa itu? Yaitu sama-sama sedang 'membakar uang'. Memang, gaya seperti ini juga berlaku bagi hampir semua startup. Namun Uber dan Go-Jek patut mendapat sorotan karena mereka merupakan market leader di medan bisnisnya masing-masing.

'Bakar uang' di sini tentu bukan dalam jumlah sedikit, melainkan dalam jumlah banyak. Sejumlah pihak menilai, baik Uber, Go-Jek atau Grab belum menghasilkan keuntungan saat ini. Mereka mengincar profit dalam jangka panjang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jika Anda melihat Uber atau Airbnb, semua perusahaan itu melakukan hal yang sama. Mereka lebih dulu menggaet konsumen. Mereka harus membuat investasi di depan di marketing untuk menggaet orang ke platform. Jadi tidak langsung menghasilkan uang," kata Fred Distin, investor di Accel Partners yang detikINET kutip dari Business Insider.

"Waktunya meraih untung, yaitu waktu mendapatkan uang, bisa 12 bulan, 24 bulan atau lebih lama. Semakin cepat Anda tumbuh, semakin banyak Anda membakar uang di awalnya, namun Anda membangun aset yang adalah user yang loyal dan stabil. Ini sangat bagus," jelasnya.

Dalam bocoran dokumen keuangan internal Uber pada paruh kedua 2014, pendapatan Uber memang meningkat pesat sampai USD 57 juta dari jumlah USD 1,4 juta di dua tahun sebelumnya. Tapi mereka menderita kerugian sebesar USD 108,8 juta.

Ketika dikonfirmasi, Uber menyatakan kerugian itu tak perlu dibesar-besarkan. "Ini sulit disebut berita. Inilah bisnis, Anda mengumpulkan uang, Anda menginvestasikannya, Anda tumbuh, Anda menghasilkan laba dan mengembalikan dana ke investor," kata Uber.

Uber mencontohkan kasus raksasa e-commerce Amazon. Meski memiliki kapitalisasi pasar USD 250 miliar, Amazon sering mencatat kerugian karena agresif berinvestasi.

Go-Jek vs Grab


Kasus Uber kurang lebih sama seperti Go-Jek atau Grab. Bakar bakar uang jelas terjadi karena mereka melakukan sistem subsidi, bersaing dengan Grab. Kevin Aluwi selaku Chief Financial Officer (CFO) Go Jek mengatakan sepak terjang Grab di Indonesia memang agresif. Strategi subsidi besar-besaran yang dilakukan perusahaan asal Malaysia itu demi memenangkan pasar.

"Kita tahu mereka ditargetkan investor gila banget. Karena ketika loe berada di posisi kedua tekanannya besar banget. Loe benar-benar dipacu oleh investor untuk menjadi nomor satu," jelas pria lulusan University of Southern California itu.

Adanya perang tarif antara Grab, memberi dampak negatif dan positif bagi Go-Jek. Dampak negatifnya membuat persaingan jadi tidak sehat. Go-Jek terpaksa berdarah-darah agar tetap bertahan disengitnya persaingan. Namun dampak positifnya, Go-Jek mengalami pertumbuhan cukup pesat dan membawa layanan mereka menjadi nomor satu di tanah air.

"Kami bersyukur juga berkat mereka, Go-Jek menjadi nomor satu. Tapi ya kami tetap waspada," klaim Kevin.

Lebih lanjut dikatakannya, perang harga di layanan ojek online akan segera usai. Pasalnya ia melihat kondisi industri teknologi di seluruh dunia mulai mengurangi strategi subsidi dan marketing yang agresif. Hal tersebut guna mengejar jalan agar sustainable dan tidak rugi lagi.

"Kita sudah memasuki periode di mana ada adjustment untuk pesaing bisnis yang lebih sehat," jelas pria pengemar game Dota dan Counter Strike ini.

(fyk/ash)







Hide Ads