Beberapa rekan menyikapi artikel sebelumnya yang membahas ide mengenai pelekatan IP Address dengan identitas fisik melalui suatu pertanyaan: apakah cukup alokasi IPv6 Indonesia untuk meng-cover 350 juta penduduk Indonesia apabila pelekatan itu dilakukan, dan bagaimana caranya?
Pengalamatan IPv6 didesain dengan banyak kelebihan dibandingkan IPv4. Jumlah alokasi alamatnya adalah kelebihan yang paling kentara, dengan 2^128 alokasi alamat IPv6 dibandingkan dengan 2^32 di IPv4. Itu artinya, secara teori alamat IPv6 bisa sebanyak 340 dengan 36 angka di belakangnya dibandingkan dengan 4,29 miliar alamat di IPv4, meskipun secara praktek tidak akan sebesar itu.
Pengalamatan IPv6 terbagi menjadi 64 bit network ID dan 64 bit interface ID yang dibangun berdasarkan 8 segmen heksadesimal (bilangan 0-9, A-F) yang dipisahkan oleh lambang kolon ‘:’ dengan tetap mendukung subnetting untuk hirarki jaringan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pelekatan identitas fisik semisal KTP dengan IPv6 bisa dilakukan melalui 2 pendekatan: pelekatan dilakukan di network ID atau dilekatkan di interface ID. Apabila dilekatkan dalam network ID, informasi nomor KTP harus diubah sedemikian rupa sehingga masuk ke dalam subnetting dari ISP bersangkutan.
Metode ini membutuhkan tata kelola yang lebih rumit namun mempunyai kelebihan bahwa pelanggan dapat mengkustomisasi alamat IPv6 untuk beberapa perangkatnya sekaligus. Sementara metode kedua dengan melekatkan informasi KTP ke dalam interface ID secara manual, merupakan cara yang lebih sederhana dan memberikan kemudahan bagi ISP dalam mengkustomisasi layanan ke pelanggannya.
Misalnya Pak Badu yang beralamat di Bekasi dan lahir tanggal 1 Januari 1981. Beliau bisa jadi akan mempunyai nomor KTP: 327512 010181 0001 dengan 6 angka pertama menunjukkan lokasi rumah, 6 angka berikutnya menunjukkan tanggal lahir, dan 4 angka berikutnya menunjukkan urutan. Kebetulan di rumahnya, pak Badu berlangganan Telkom Speedy (2001:4488::/32) dan mempunyai perangkat seluler dengan XL Axiata (2400:9800::/32) sebagai penyedia layanannya.
Untuk metode pertama, Telkom dan XL diminta menyediakan 28 bit untuk identitas Pak Badu dan 4 bit sebagai alternatif perangkat pribadi yang bisa Pak Badu tambahkan. Misal identitas KTP pak Badu dipetakan menjadi B4D0:300x, maka Telkom bisa saja memberikan alamat IPv6 2001:4488:B4D0:3000::/60 kepada Pak Badu untuk dikelola subnetting-nya lebih lanjut kepada 24 (=16) perangkatnya. Demikian pula XL akan memberikan alamat IPv6 kepada pak Badu 2400:9800:B4D0:3000::/60.
Sementara untuk metode kedua, Telkom bisa saja memberikan alamat IPv6 kepada pak Badu sebagai berikut (x bilangan heksadesimal):
• 2001:4488:xxxx:xxx1:3275:1201:0181:0001 untuk layanan internet,
• 2001:4488:xxxx:xxx2:3275:1201:0181:0001 untuk layanan IP CCTV,
• 2001:4488:xxxx:xxx3:3275:1201:0181:0001 untuk layanan IP TV.
Demikian pula XL bisa memberikan alamat IPv6 kepada pak Badu:
• 2400:9800:xxxx:xxx1:3275:1201:0181:0001 untuk smartphone,
• 2400:9800:xxxx:xxx2:3275:1201:0181:0001 untuk tablet.
Dalam contoh di atas, pada metode pertama Pak Badu dianggap mampu berperan sebagai pengelola jaringan secara mandiri, sementara pada metode kedua pak Badu berperan sebagai end-user yang menerima setingan IPv6 dari ISP-nya.
Keduanya mengandung model bisnis yang berbeda bagi operator, namun tetap menunjukkan adanya identitas KTP pak Badu di dalam alamat IPv6 yang dimilikinya. Persoalan ketika Pak Badu pindah rumah ganti KTP, atau melakukan perjalanan luar negeri, atau pemberian nomor KTP palsu, atau hal lain, merupakan hal-hal yang perlu dirumuskan tata kelolanya antara pemerintah dan operator/ISP bersangkutan.
Alokasi penomoran IPv6 dari APNIC/IDNIC untuk 350 juta penduduk Indonesia sangatlah cukup, meskipun tiap penduduk mempunyai lebih dari 1 perangkat yang terhubung ke internet. Walaupun demikian, deskripsi dan contoh di atas merupakan gambaran kasar dan masih membutuhkan kajian lebih lanjut mengenai teknis operasional dan tata kelolanya.
Yang lebih penting adalah kebijakan pemerintah, apakah sudah diperlukan langkah untuk menuju ke sana sesuai strategi keamanan cyber, internet sehat, dan Internet of Things di Indonesia.
Pelekatan IPv6 kepada identitas fisik dalam satu sisi akan menguntungkan karena pelanggan mendapatkan IP Publik dan lebih mudah mengelola IP Address-nya, ISP dapat memberikan layanan yang lebih terkustomisasi kepada pelanggannya, dan pemerintah lebih mudah memberikan perlindungan hukum kepada masyarakatnya. Namun di sisi lain ada isu privasi dan keamanan yang perlu dikaji lebih lanjut.
*Ir. Satriyo Wibowo, MBA, M.H. (@sBowo) adalah anggota Gugus Tugas IPv6 Indonesia sekaligus narasumber teknis penomoran internet Kemenkominfo. Aktif dalam diskusi infratruktur internet di IGF, pengurus Prakarsa Jaringan Cerdas Indonesia, dan peneliti cyber jurisdiction. (ash/ash)