Pro-kontra Penebar Kebencian di Internet & Resistensi IPv6
Hide Ads

Kolom Telematika

Pro-kontra Penebar Kebencian di Internet & Resistensi IPv6

Penulis: Satriyo Wibowo - detikInet
Senin, 02 Nov 2015 17:16 WIB
Ilustrasi (ist)
Jakarta -

Menyikapi terbitnya Surat Edaran (SE) Kapolri soal penanganan ujaran kebencian yang terutamanya menyasar pada perilaku masyarakat internet di Indonesia, beragam pendapat bermunculan.

Pihak yang pro karena gerah melihat terkikisnya budaya ketimuran di internet sementara pihak yang kontra merasa berkurangnya privasi dan ketidakjelasan makna ‘ujaran kebencian’ bisa dimanfaatkan untuk memberangus kebebasan berbicara.

Kapolri sendiri, di sini menyatakan bahwa, "demokratis itu bukan berarti bebas melanggar UU. Tetap koridornya tidak melanggar norma hukum". Dan dalam prosesnya, ada teguran terlebih dahulu dari kepolisian sebelum dilakukan penindakan dan penegakan hukum sehingga diharapkan tidak ada perilaku semena-mena dari penegak hukum.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dunia internet yang mendukung anonimitas dan kebebasan berpendapat memang seperti pedang bermata dua. Hak berbicara dan berpendapat merupakan hak asasi manusia yang mendukung perbedaan pendapat yang bisa menyerang pendapat yang lain.

Namun bagaimana cara mengemukakan ketidaksetujuan pendapat tersebut ternyata masih banyak yang perlu dilatih. Dengan adanya anonimitas, seolah-olah pengguna internet sekarang dapat berbicara kasar, menghina, dan seenaknya tanpa merasa bertanggung jawab terhadap ucapan atau postingan-nya itu karena dia dapat dengan mudah berganti profil dan akun. Tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab di internet inilah yang menjadi alasan terbitnya SE Kapolri di atas.

Tata kelola internet Indonesia tidak diarahkan seperti China yang sangat controlled namun juga tidak seperti Amerika yang sangat open. Pernyataan pemerintah Indonesia sebenarnya sangat jelas pada Konferensi IGF 2013 di Bali, bahwa internet Indonesia menjunjung konsep Cyber Ethics yang mendukung kebebasan berpendapat yang bertanggungjawab dengan tetap menghormati pendapat orang lain dan masyarakat lain.

Menyoal Penggunaan IP Address

Selain kontrol kuratif seperti SE Kapolri di atas, sebenarnya ada kontrol preventif yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Dalam beberapa diskusi dengan unit Cybercrime Bareskrim, terungkap banyak kesulitan penyidikan dan penyelidikan terkait kejahatan internet di Indonesia karena penggunaan IP Address private dan IP Address publik yang tidak tetap.

Pelaku kejahatan seringkali berlindung di belakang NAT (Network Address Translation) sehingga IP Address publik yang terlacak tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya secara langsung dan membutuhkan waktu lebih untuk mencari pelaku sesungguhnya.

Demikian pula pemberian IP Address publik yang tidak tetap yang biasa dilakukan operator internet dengan alasan operasional dan efektivitas penggunaan IP Address, akan menambah waktu signifikan untuk penegak hukum memeriksa log dan men-trace perangkat. Alasan yang sebenarnya sudah kadaluarsa karena dengan IPv6, alasan terbatasnya IPv4 sudah terbantahkan.

Keengganan operator untuk mendukung IPv6 terlihat pada rapat koordinasi gugus tugas IPv6 Indonesia April 2015. Banyak ISP besar yang menunda pemberian IPv6 ke pelanggan dengan alasan pasar belum siap dan alokasi IPv4 masih banyak.

Namun ketika digali lebih lanjut, mereka ternyata masih nyaman dengan penggunaan NAT sehingga dirasa tidak perlu untuk buru-buru pindah ke IPv6 meskipun secara jaringan sudah siap. Kemalasan tersebut membuat pelanggan internet yang seharusnya sudah bisa mendapatkan IP Address Publik yang tetap secara gratis menjadi hilang.

Kebijakan Kementrian Kominfo mengenai Pembatasan NAT dan Pemberian IP Address publik yang tetap inilah yang diharapkan. Dengan memiliki IP Address Publik yang tetap, banyak keuntungan yang bisa didapatkan.

Pelanggan dapat dengan mudah memasang IP CCTV dan webserver tanpa harus menggunakan Cloud atau DDNS yang berpotensi privasi dan kerepotan seting. Akses internet juga pasti lebih cepat karena tidak melalui NAT lagi. Selain itu di sisi penegakan hukum juga akan terbantu karena memudahkan pelacakan IP Address.

Mungkin akan ada isu privasi dan sekuriti dengan kebijakan ini, namun yang lebih penting adalah, pengguna internet akan terdidik dan paham bahwa walaupun masih tetap anonim namun semua posting pendapat yang dia lakukan akan dapat dengan mudah di-trace balik sehingga dia harus dapat mempertanggungjawabkannya.

Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan internet Indonesia yang lebih sehat dan membangun akan terwujud.


* Penulis, Satriyo Wibowo adalah anggota Gugus Tugas IPv6 Indonesia sekaligus narasumber teknis penomoron internet Kemenkominfo. Aktif dalam diskusi infratruktur internet di IGF, pengurus Prakarsa Jaringan Cerdas Indonesia, dan peneliti cyber jurisdiction di UGM.

(rou/fyk)