Pasalnya tiap daerah punya selera sendiri, misalnya selera masyarakat Maluku berbeda dengan selera masyarakat Batak, lain lagi dengan selera masyarakat Bali. Tinggal masyarakat mengawasi bagaimana platform mendapat konten.
Cara ini memungkinkan platform berkembang sekaligus memudahkan membuat diferensiasi produk. Konsumen pun bisa mendapat lebih banyak pilihan sehingga tercipta persaingan sehat di antara penyedia layanan streaming musik.
Hal tersebut disampaikan Chief Operating Officer PT. Langit Data Indonesia Hang Dimas dalam sesi diskusi Gateway to Indonesia pada gelaran All That Matters di Ritz Carlton Millenia, Singapura, 20 Mei 2015.
Diskusi yang dimoderatori Founder & Chief Executive Officer Musikator Robin Malau itu diikuti juga oleh General Manager (Asia), MixRadio Jamie Robertson, Pengurus Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) dan Managing Director Trinity Optima Production Yonathan Nugroho.
Langit Data Indonesia adalah perusahaan startup yang berfokus membangun sistem lisensi musik digital di Indonesia. Perusahaan tersebut baru-baru ini kami menerapkan sistem yang memonitor penggunaan musik di ruang publik, seperti hotel, restoran, dan karaoke keluarga. Hal itu merupakan bagian dari sistem lisensi yang berkonsentrasi pada hak menyiarkan (performing rights).
Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang hak cipta pada 15 September 2014, pemilik hak cipta sebuah lagu juga mendapat royalti atas hak menyiarkan. Setiap kali lagu dinyanyikan di ruang publik, maka pemilik hak cipta berhak juga mendapat royalti. Jadi royalti bukan hanya dari berapa banyak CD laku.
Negara-negara lain, yang undang-undang hak ciptanya sudah jalan, sudah punya sistem untuk menghitung, misalnya restoran dihitung dari jumlah kursi yang tersedia, hotel dihitung dari luas lobi atau jumlah loud speaker di lobi. Karena di Indonesia belum ada semua itu, dan baru mulai benar-benar dari nol, maka menghitungnya baru dari berapa banyak penggunaan lagu di ruang publik.
Di masa depan, ketika data makin rapi, bukan hanya berapa lagu yang dimainkan, melainkan bisa lebih rinci, termasuk genre apa yang populer di daerah tertentu.
βIdenya untuk mendiferensiasi industri musik, sehingga jika semua terdata, label dan artis dapat memaksimalkan pasar. Kita melokalkan industri musik,β ujar Dimas.
Setelah Undang-undang baru ini diberlakukan dan jalur-jalur ilegal ditutup, akan menarik melihat progresnya nanti, bagaimana lagi cara konsumen (yang sebelumnya mendapat musik dengan cara ilegal) mendapat musik.
βDi sini menariknya posisi penyedia jasa streaming seperti MixRadio karena harus mendidik konsumen mereka tentang hukum. Maka akan jadi kerja keras dari sisi platform, pemilik hak cipta, dan pemerintah,β kata Dimas.
Pembajakan bukan hal yang main-main melihat angka kerugian musikus. Dewan Pimpinan Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) dan Managing Director Trinity Optima Production Yonathan Nugroho dalam diskusi yang sama memberi gambaran parahnya imbas pembajakan.
Situs download ilegal yang tak dapat ditutup adalah tantangan terbesarnya dalam 10 tahun terakhir. Betapa tidak, ketika ring back tone (RBT) menghasilkan USD 70 juta (lebih dari Rp 900 miliar) per tahun, musik download seperti iTunes hanya menghasilkan USD 3-5 juta. Maka disahkannya Undang-Undang Hak Cipta 2014 memungkinkan ditutupnya fasilitas download ilegal.
βSaya berharap undang-undang baru ini dapat mendorong seniman untuk mulai berproduksi lagi, rekaman lagi. Bahkan tak tertutup kemungkinan seniman internasional bergabung juga dalam pasar Indonesia,β tandas Yonathan.
(Ardhi Suryadhi/Ardhi Suryadhi)