Perusahaan penyewaan jasa transportasi ojek yang berbasis di Jakarta Selatan ini sudah malang melintang sejak tahun 2011. Hanya saja, perusahaan baru saja merilis aplikasi Go-Jek sekitar awal Januari 2015 di Google Play Store dan App Store.
Penasaran seperti apa rasanya memesan ojek lewat aplikasi Go-Jek, detikINET pun penasaran untuk mencicipi pengalaman menggunakan jasa Go-Jek Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Maaf ya mas sudah mengunggu lama. Saya agak lupa alamatnya," ujar sang pengemudi ojek yang bernama Engkus. Ya, Engkus merupakan satu di antara deretan pengendara ojek milik Go-Jek Indonesia.
Engkus baru sebulan bergabung dalam armada Go-Jek Indonesia. Walau tergolong baru, tapi Engkus telah lebih dulu menekuni profesi sebagai tukang ojek selama bertahun-tahun, sebelum pada akhirnya merapat ke Go-Jek Indonesia. Engkus biasa mangkal di kawasan Universitas Nasional, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
"Awalnya bisa bergabung sama Go-Jek ini kan saya direkrut, mas. Tiba-tiba aja saya ditawarin gabung," ungkap Engkus menceritakan bagaimana ia bisa bergabung dengan Go-Jek Indonesia.
Engkus mengatakan tidak ada persyaratan khusus, hanya saja dokumen informasi, seperti Kartu Keluarga (KK), BPKB, atau ijazah harus ditahan. "Ya ini semua demi keamanan saja kalau-kalau mungkin di ojek berbuat yang tidak-tidak," katanya sambil mengendarai motor.
Karena masih baru, Engkus mengaku belum bisa merasakan efek perubahan setelah maupun sebelum bergabung dengan Go-Jek Indonesia. "Kalau penghasilan bertambah sedikit-sedikit sih ya ada. Tergantung kitanya juga, giat apa enggak," ujarnya. Menurut Engkus, persaingan di antara sesama ojek Go-Jek Indonesia dirasa cukup ketat.
Berbeda dengan sistem pangkalan yang mana mengutamakan giliran, sistem yang berlaku di Go-Jek Indonesia adalah siapa cepat dia dapat. "Kita harus dulu-duluan nge-bit (tekan tombol) mas kalau ada orderan. Siapa yang duuan nge-bit, ya dia yang dapet orderan," jelasnya.
Meski tergabung dengan Go-Jek Indonesia, tapi Engkus diperbolehkan untuk mengangkut penumpang di luar dari order perusahaan. "Nah, enaknya sih bisa nyambi. Jadi tidak tergantung dari penghasilan Go-Jek Indonesia," tambahnya. Tidak ada sistem gaji, yang ada adalah sistem bagi hasil antara si tukang ojek dan perusahaan, dimana 20% ke perusahaan sisanya ke si ojek.
Karena sistem pemesanannya menggunakan aplikasi smartphone, Engkus pun dibekali perusahaan sebuah smartphone yang dibayarnya melalui cicilan per minggu. "Ini ponsel harganya Rp 300.000 sudah diskon dari harga asli Rp 700.000. Untuk cicilan, setiap minggu bayar Rp 20.000 yang dipotong langsung dari saldo," jelasnya.
Tentu, Engkus dan kawan-kawan sesama ojek mendapat pelatihan terlebih dahulu mengenai tata cara penggunaan aplikasi Go-Jek "Enggak susah kok, mas. Ya kita diajarin gimana caranya menerima orderan, membaca peta, sama sistem potong bayaran," kata Engkus.
Lain Engkus, lain halnya dengan Sismodo. Pengojek Go-Jek yang detikINET tumpangi dalam kesempatan berbeda ini lebih lama menjadi anggota Go-Jek Indonesia.
Menurutnya, dengan adanya Go-Jek Indonesia penghasilan Sismodo otomatis bertambah. Sehari ia mengaku bisa meraup untung hingga Rp 400.000 hanya dengan bermodal saldo Rp 100.000.
Serupa dengan Engkus, sistem pemayaran yang diterima oleh Sismodo adalah bagi hasil. "Ada sih mas yang sistem gaji. Tapi itu dia biasanya ojek perusahaan -- korporat yang berlangganan Go-Jek Indonesia -- yang stand by di kantor. Saya sih ogah, mas," ujar Sismodo.
Menurutnya, ia malah tidak betah dengan cara kerja seperti itu, yang mana dengan alasan tidak bisa mencari tambahan ojek lain. "Enak begini mas, bisa nyambi ngojek di luar dari orderan dari Go-Jek Indonesia. Pokoknya mantap lah!," pungkasnya.
(ash/ash)