Debat Seru Kekerasan di Videogame
Hide Ads

Catatan oleh Rama

Debat Seru Kekerasan di Videogame

- detikInet
Minggu, 17 Jun 2007 17:30 WIB
Jakarta - "Videogame itu mendidik.""Siapa bilang? Game malah mengajarkan anak-anak jadi pembunuh.""Game membuat mereka terampil memecahkan persoalan.""Nanti dulu. Sebaliknya, justru mereka jadi agresif." "Salah! Game dapat membantu anak bersosialisasi.""Ngawur. Justru mereka jadi penyendiri!" Itulah sekelumit perdebatan tentang "Kekerasan dalam Videogame" antara yang pro dan kontra. Mulai dari yang tua sampai yang muda, yang berpengalaman atau yang sekedar ikut-ikutan, orangtua, guru sekolah, bahkan pejabat tinggi dan artis pun ramai memperdebatkan hal yang satu ini. Dulu, kita mengenal videogame sebagai salah satu media hiburan elektronik yang hanya punya satu tujuan; menghibur. Hampir semua game menampilkan adegan-adegan lucu dan konyol. Kalau tidak disuruh melompati jurang dan mengambil koin emas sebagai bonus, paling-paling kita diminta menghajar musuh dan menyelamatkan puteri dengan senjata-senjata yang aneh-aneh, seperti melempar pisang atau telur. Kalaupun ada tembak-tembakan, pelurunya pun lucu-lucu dan berwarna-warni. Siapa sangka kalau sekarang videogame tak hanya sekedar menjadi alat penghibur atau penghilang stres, tapi juga menjadi penyebab timbulnya berbagai tindak kekerasan.Fenomena semacam ini mulai timbul sekitar pertengahan era 90-an, di mana developer-developer game mulai memproduksi game bertemakan perkelahian atau baku tembak. Tak seperti jaman 80-an, yang mungkin penyajian gamenya berbentuk kartun yang lucu dan konyol, penyajian game berjenis kekerasan mulai mengedepankan unsur realisme dan tak jarang melibatkan adegan sadis (peluru/pedang menancap di dada, atau kepala yang hancur berkeping-keping).Anda mungkin masih ingat judul-judul game seperti Mortal Kombat atau Street Fighter. Keduanya adalah game berjenis pertarungan satu lawan satu yang banyak mengundang kritik. Kedua game tersebut -- yang dituding sebagai cikal bakal game kekerasan -- jelas-jelas menampilkan adegan-adegan sadis. Mortal Kombat sendiri bahkan telah memampang "darah" sebagai penghias aksi karakternya. Sejak saat itu, orang mulai mengkambing-hitamkan videogame sebagai salah satu penyebab merebaknya berbagai tindak kriminal, yang notabene banyak dilakukan oleh remaja, dan parahnya lagi, kebanyakan dari remaja adalah konsumen videogame.Di sisi lain, banyak pula yang berpendapat bahwa videogame juga berperan dalam peningkatan keterampilan dan kecerdasan seseorang. Mereka -- yang berpendapat demikian -- percaya bahwa videogame dapat menstimulasi otak untuk berpikir kreatif dan matematis. Kali ini kita turunkan perdebatan seru antara Jack Thompson, pengacara anti-kekerasan dengan Henry Jenkins seorang peneliti game. Setelah itu, silahkan Anda memilih mana yang lebih masuk akal.Jack (kontra) ThompsonBapak yang satu ini namanya mencuat setelah industri videogame tumbuh pesat. Sebagai pengacara, ia terkenal paling vokal menyuarakan unsur negatif (dalam hal ini, kekerasan) dalam game. Entah waktu di acara Oprah, 60 Minutes, atau Nightline. Thompson, mewakili keluarga dua polisi Alabama yang tewas ditembak seorang remaja yang (konon kabarnya) gemar memainkan game serial Grand Theft Auto (GTA), yakin bahwa game-game keras akan menggiring gamer jadi pembunuh. Thomson mengomentari kurang efektifnya pemberian label pada game. Meskipun game untuk konsumsi 17 tahun ke atas telah diberi label M (Mature), masih banyak anak-anak di bawah usia 17 tahun yang membeli dan memainkannya.Menurut Thomson, sekitar 50 persen anak-anak di bawah umur 17 tahun membeli game berlabel M, dan 70 persen -- yang masih berusia 14 tahu---- memainkan Grand Theft Auto: San Andreas. "Game itu penuh adegan baku tembak, dan tidak baik dikonsumsi anak usia 17 tahun ke bawah!" Menurut Thomson, ia banyak menerima laporan bahwa berbagai tindak kriminal yang terjadi dilakukan oleh anak usia 17 tahun ke bawah, dan kebanyakan adalah konsumen GTA.Dari analisa Thomson, kecenderungan untuk meniru masih kuat terdapat dalam diri remaja. Jadi, besar kemungkinan mereka akan meniru adegan dalam game yang dimainkannya. "Yang paling parah adalah tingkat emosi mereka yang masih labil, dan kita semua tahu apa yang terjadi kalau mereka sedang marah, dan mereka pemain game-game berlabel M."Secara tegas Thomson menuding penjual game yang mengedarkan game tersebut tanpa mematuhi label tercantum. Baginya, label bukanlah menjadi acuan untuk siapa game tersebut boleh dikonsumsi, tapi hanya sekedar "pajangan" yang tak berguna, karena pada kenyataannya penjual tidak membatasi akses para pembeli.Thomson juga menunjuk game berjenis simulasi perang sebagai penyebab terjadinya tindak kekerasan. Game-game seperti ini biasanya dipakai dalam lingkungan kemiliteran sebagai alat latihan virtual. "Tapi game ini juga dijual bebas, dan di dalamnya ada taktik perang yang bisa ditiru orang untuk melakukan kekerasan," tandasnya.Lebih lanjut, Thomson mengutarakan kekhawatirannya tentang perkembangan industri game saat ini. Menurutnya, baik developer game ataupun penjual game sudah tak lagi mempedulikan kontrol dalam peredaran game. "Beginilah repotnya kalau yang dikejar adalah untung besar," cibirnya.Sebagai solusinya, Thomson menganggap perlunya 3P (Pendidikan, perundang-undangan, dan pendekatan). Orangtua hendaknya dilibatkan dalam urusan game dan memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka bahwa game label M tak boleh dikonsumsi. Lalu, pemerintah harus menetapkan perundang-undangan yang kuat soal pengedaran game yang harus sesuai dengan labelnya. Soal pendekatan, itu perlu dilakukan pada konsumen, dalam hal ini remaja, untuk membeli game yang sesuai dengan usia mereka."Sayang, 3P ini yang jarang diindahkan oleh masyarakat," keluhnya.Henry JenkinsJenkins adalah direktur Studi Banding Media Institut Teknologi Massachusetts Amerika, Pengarang dan editor 12 buku (termasuk From Barbie to Mortal Kombat: Gender and Computer Games). Ia menghabiskan karirnya untuk mempromosikan nilai-nilai pendidikan dalam game. Sepanjang kemunculannya di TV, Jenkins juga pernah menjadi saksi ahli Dewan Penasihat Perdagangan untuk hiburan kekerasan dan kebudayaan remaja, serta membantu mengubah keputusan pengadilan federal bahwa videogame tidak dilindungi Amandemen Pertama. Jenkins mengomentari soal videogame yang dituding sebagai penyebab timbulnya berbagai tindak kekerasan. Menurut dia, mereka yang berpendapat demikian hanya mencari-cari kesalahan, sementara bukti otentik yang menunjukkan bahwa tindak kekerasan dilakukan oleh konsumen game, hingga kini pun tak juga disodorkan."Menurut kepala jawatan kesehatan setempat, game bukan faktor utama penembakan di sekolah. Kriminolog juga bilang begitu. Faktor paling besar sebenarnya berasal dari kesehatan mental, kekerasan lingkungan, keluarga broken home, dan kemiskinan," papar Jenkins. Yang harusnya diperhatikan, tambahnya, adalah konsumsi anak-anak akan media cetak atau online. "Kalau boleh menuding, sebenarnya media itu lebih jahat. Lihat saja bahasa yang digunakan dan gambar-gambar yang dipampang (kriminal maksudnya), betul-betul nyata dan sadis! Kalau videogame jelas hanya fantasi belaka," belanya.Jenkins juga menolak pernyataan bahwa ada hubungannya antara tindak kekerasan dan videogame. Ia mengaku tidak terlalu menganggap serius hal ini, karena data hasil analisis pengacara dan aktivis di lapangan pun masih belum ada titik temu, dan sekali lagi, belum ada bukti otentik yang memampang seorang anak baik-baik bermain videogame tiba-tiba menjadi beringas dan melakukan penembakan di sekolah.Bicara soal pelabelan dalam game, Jenkins menilai bahwa label yang diberikan adalah salah satu langkah akurat untuk menunjukkan game itu ditujukan pada siapa. "Menurut saya, yang perlu dibenahi adalah persepsi orangtua yang ternyata masih menganggap game itu untuk anak-anak, padahal GTA jelas-jelas mengandung unsur kekerasan dan prostitusi, dan itu dibuat memang tidak untuk konsumsi anak-anak," jelasnya.Lebih lanjut, pria yang mengaku gemar bermain videogame bersama putera sulungnya ini mengatakan bahwa industri videogame -- dalam hal ini distribusinya -- sebenarnya tak perlu perundang-undangan. Jenkins percaya bahwa pendidikan adalah kuncinya. Jika pendidikan diberikan pada si anak lebih dini, dan penyuluhan diberikan pada pengecer game untuk mengedarkan game sesuai dengan labelnya, maka semuanya akan berjalan dengan baik.Ia memberi contoh pada anaknya sendiri. "Dulu, sayalah yang memutuskan game apa yang boleh dikonsumsi, dan saya sering meluangkan waktu untuk ikut bermain sekaligus memonitor game apa yang dimainkannya." Jadi, yang utama sebenarnya adalah tanggung jawab individu untuk mengontrol kesadaran masing-masing, bukan semata-mata kesalahan (kalau memang videogame bersalah) industri videogame. Keterangan Gambar: Screenshot Grand Theft Auto III (ist.) Inset: Eko Ramaditya (dbu/inet).Penulis, Eko Ramaditya Adikara (Rama), adalah seorang tuna-netra yang gemar menulis menggunakan komputer. Penulis tergabung dalam Yayasan Mitra Netra (MitraNetra.or.id). Blog pribadinya dapat dibaca di alamat www.ramaditya.com."Catatan oleh Rama" lainnya:- 25 Game Revolusioner- Firefox, Kawan Setia ke Mana-Mana - Game di Indonesia: Antara Asli dan Bajakan- Raksasa Game Belum Pakai Senjata Pamungkas- Bisnis PS3 Tak Seindah Pendahulunya- Pertemanan di Internet, dari 'Friendster' sampai 'Sohib'- Nintendo Kembali Meraja di 2006 (nks/nks)
Berita Terkait