Teknologi baru ini sangat berseberangan dengan teknologi baterai saat ini, yang menggunakan cobalt sebagai bahan utama. Hal tersebut membuat permintaan cobalt meningkat karena meningkatkan pasar mobil elektrik.
Tak cuma menggunakan bahan yang ramah lingkungan, teknologi ini juga diklaim IBM bisa mengalahkan performa lithium ion dalam aspek biaya pembuatan, pengisian daya, dan efisiensi energi, demikian dikutip detikINET dari Tech Radar, Minggu (22/12/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam penelitiannya ini IBM bekerja sama dengan lembaga riset milik Mercedes Benz, penyuplai elektrolit baterai Central Glass, dan pembuat baterai Sidus untuk membantu pengembangan baterai ini secara komersial.
![]() |
"Banyak material di baterai, termasuk nikel dan cobalt, mempunyai dampak buruk bagi lingkungan dan manusia. Cobalt contohnya, yang banyak tersedia di Afrika Tengah, tengah bermasalah karena praktik penambangan yang tak bertanggung jawab dan terlalu eksploitatif," ujar Young-hye Na, peneliti di IBM.
"Dengan menggunakan tiga materai baru ini, yang sebelumnya belum pernah dipakai di baterai, tim kami di IBM Research sudah menemukan material baru untuk baterai yang tak menggunakan logam berat ataupun bahan lain yang bermasalah," tambahnya.
Saat ini produsen baterai sendiri memang tengah berusaha mengurangi jumlah cobalt pada baterai lithium ion buatannya. Karena dengan permintaan baterai yang terus meningkat drastis, ditakutkan bahan tambang itu akan habis dan menjadi langka.
(asj/afr)