Xiaomi bisa dibilang anak baru di industri ponsel, mereka baru ada sejak tujuh tahun yang lalu. Namun mereka bisa menarik banyak konsumen dalam waktu yang terbilang singkat itu.
Salah salah satu caranya adalah dengan memberikan harga lebih murah ketimbang produk yang sejenis. Mereka bisa melakukan hal itu dengan menyunat sejumlah pos yang jadi komponen penyusun harga ponsel.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Biasanya produsen menjual ponselnya dengan harga 2,5 kali lipat harga modalnya, sementara kami hanya menjual dengan 1,1 kali harga modal," tambah Lei.
Menurutnya, dari lima pos itu, hanya dua pos yang mereka jadikan komponen penyusun harga ponselnya, yaitu bahan baku dan biaya riset dan pengembangan. Sementara tiga komponen lain bisa dibilang biayanya adalah nol.
Pertama, biaya marketing. Awalnya Xiaomi memang tak mengeluarkan biaya apa pun untuk hal ini, begitu juga dengan biaya distribusi karena mereka melakukan semuanya sendiri. Terakhir keuntungan, yang menurut Lei Jun juga bisa dibilang tak ada.
"Xiaomi menjual produk dengan harga murah dengan memotong keuntungan, yaitu sama sekali tak mengambil keuntungan dari hardware. Lalu pada lima tahun pertama perusahaan kami tak mengeluarkan uang sama sekali untuk pemasaran dan promosi," klaim pendiri sekaligus CEO Xiaomi tersebut.
Selain itu, Xiaomi juga memproduksi perangkat dalam jumlah yang besar, agar bisa menekan biaya produksi seminimal mungkin. Kombinasi tersebut membuat Xiaomi bisa menjual perangkat dengan harga jual lebih rendah ketimbang perangkat lain yang sejenis.
"Produk seperti powerbank awalnya dijual di China dengan harga 200 RMB (sekitar Rp 400 ribu), namun kualitasnya dan desainnya buruk. Lalu kami meluncurkan powerbank dengan harga 69 RMH dengan desain dan kualitas yang jauh lebih tinggi," jelas Lei.
Maka tak aneh jika Xiaomi kemudian bisa mendapat market share lumayan besar di China dalam waktu yang relatif singkat. (asj/fyk)