Peralihan ke gaya hidup digital semakin nyata. Transformasi digital telah mengubah cara masyarakat berbelanja sehari-hari, melakukan perjalanan, menonton hiburan, hingga melakukan transaksi perbankan. Dunia usaha pun merespons perkembangan itu dengan mengembangkan layanan digital atau mendigitalisasi proses bisnisnya.
Bertumbuhnya ecommerce merupakan salah satu faktor yang mendorong gaya hidup digital. Data terakhir Badan Pusat Statistik yang tercantum dalam laporan Statistik E-Commerce 2021 menunjukkan pada akhir 2020 terdapat sekitar 2,4 juta usaha e-commerce di seluruh Indonesia dengan berbagai ukuran bisnis.
Sebagian besar dari bisnis tersebut merupakan bisnis ecommerce nonformal yang umumnya menggunakan pesan instan dan media sosial sebagai media penjualan, nilai pendapatan di bawah Rp 300 juta, dan metode pembayaran yang paling sering digunakan adalah pembayaran tunai atau Cash-on-Delivery yang populer disingkat COD.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut catatan Bank Indonesia, transaksi ecommerce Indonesia diproyeksi menyentuh Rp 401 triliun pada 2021. Jumlah ini tumbuh 51,6% dari tahun sebelumnya sebesar Rp 266 triliun. BI juga telah memproyeksikan transaksi ecommerce di Indonesia terus naik pada 2022 dengan nilai mencapai Rp 526 triliun atau tumbuh 31,2%. Data ini disampaikan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR pada Januari 2022.
Peralihan gaya hidup dan angka pertumbuhan sektoral tersebut merupakan indikasi yang positif bagi perkembangan ekonomi digital Indonesia. Namun, kita masih punya sederet pekerjaan rumah dalam meningkatkan literasi digital, khususnya dalam melakukan transaksi digital.
Bisa dibilang saat ini tingkat literasi keuangan digital di Indonesia serupa dengan masa akhir 1990-an, saat kartu kredit mulai diperkenalkan di Indonesia. Saat itu banyak orang yang menganggap kartu kredit adalah kunci kemudahan berbelanja namun lupa kewajiban untuk membayar dan konsekuensinya.
Di ranah ecommerce ada beberapa kejadian yang muncul terkait kurangnya literasi masyarakat. Akun bisa berpindah tangan (account take over) ketika konsumen tanpa sadar memberikan nomor PIN atau OTP, atau menjadi korban phising dengan mengklik utas yang dikira dikirim oleh e-commerce atau penjual. Masalah lain adalah konsumen yang melakukan transaksi di luar platform serta ketidaktahuan tata cara pembelian COD.
Masalah di atas dapat dikurangi bahkan dihindari jika pemahaman dan literasi ekonomi digital sudah merata. Tentu tidak mudah karena diperlukan penanaman kebiasaan dalam meningkatkan literasi yang konsisten oleh seluruh pelaku dan pemangku kepentingan.
Contohnya, soal non-fungible token (NFT) yang dipicu berita kesuksesan seorang Ghozali menangguk miliaran rupiah berkat penjualan fotonya. Tanpa memahami bagaimana ekonomi digital bekerja, banyak yang kemudian mengunggah foto pribadinya di platform marketplace NFT yang berpotensi membahayakan keamanan data pribadinya.
Membangun literasi digital di Indonesia ada di halaman selanjutnya