Proses digitalisasi dan transformasi digital terjadi di seluruh dunia. Perekonomian dunia yang sebelumnya sangat bergantung pada kegiatan ekonomi yang bersifat fisik (brick and mortar), perlahan mulai digeser oleh ekonomi digital. Laporan Brookings Institution yang bertajuk Trends in the Information Technology sector mengungkapkan, ekonomi digital global pada 2019 atau sebelum pendemi mencapai angka US$11,5 triliun atau 15,5% GDP dunia. Meski terlihat kecil, ekonomi digital dunia tumbuh 2,5 kali GDP dalam 15 tahun terakhir.
Dalam periode yang sama, ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara mencapai US$100 miliar menurut data Google -Temasek - Bain & Company. Indonesia menjadi penyumbang terbesar bagi ekonomi digital Asia Tenggara yakni US$41 miliar atau lebih dari 40%.
Pada tahun 2020 ketika pandemi COVID-19 mencapai fase terburuk, seluruh negara di kawasan Asia Tenggara melaporkan pertumbuhan GDP negatif. Singapura, misalnya mengalami pertumbuhan GDP sebesar -4,5% pada 2020 berdasarkan data Nikkei. GDP Indonesia sendiri tumbuh -2,7% pada tahun lalu, menurut data BPS.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagaimana dengan ekonomi digital? Ternyata kondisinya berbeda. Menurut data Google-Temasek-Bain & Company, ekonomi digital Asia Tenggara tumbuh +5% pada 2020. Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi digital yang lebih tinggi lagi yakni +11%!
Mengapa demikian? Meskipun beberapa sektor bisnis seperti perjalanan online turun tajam, pandemi COVID-19 yang memaksa orang-orang untuk melakukan berbagai aktivitas di rumah membuat aktivitas online lain meningkat. Untuk e-commerce, misalnya, Bank Indonesia (BI) memperkirakan transaksi sepanjang 2020 mengalami lonjakan sebesar 23,1% dari tahun sebelumnya yakni mencapai Rp253 triliun, dari Rp205,5 triliun pada 2019.
Tapi jangan salah, transaksi digital perbankan juga meningkat pesat pada 2020. Menurut laporan BI, volume transaksi digital perbankan pada 2020 meningkat 41,53% (yoy) mencapai 513,7 juta transaksi dengan nilai transaksi sebesar Rp 2.774,5 triliun.
Ekonomi digital kerap dikaitkan dengan startup unicorn yang bergerak di bidang teknologi. Ironisnya, hampir semua startup unicorn yang sering digadang-gadang sebagai 'tulang punggung ekonomi digital' memiliki fundamental bisnis yang tidak sustainable. Menurut data yang dirangkum Jeffrey Lee Funk , konsultan teknologi dan mantan associate professor di National University of Singapore, dari 76 startup unicorn yang melakukan IP0 beberapa tahun lalu, hanya 6 yang sudah profit pada 2019. Salah satunya adalah Zoom, platform konferensi video berbasis cloud yang naik daun di masa WFH dan PJJ saat ini.
Jeffrey melaporkan bahwa pada 2020, dari 69 startup yang menyandang gelar 'unicorn', hanya 7 startup yang profit. Zoom menjadi startup unicorn yang membukukan profit terbesar tahun lalu.
Startup-startup unicorn yang berdarah-darah tersebut selama ini bisa survive karena suntikan modal yang terus menerus dari investor lama dan meraih pendanaan dari investor-investor baru. Salah satu dampak model bisnis startup seperti itu adalah saham milik para pendiri terdilusi dengan cepat. Tidak jarang kepemilikan mayoritas pada akhirnya menjadi milik investor yang berasal dari negara lain, sehingga perannya sebagai tulang punggung ekonomi digital negara menjadi semakin abu-abu.
Dampak lainnya adalah startup yang berjuang keras untuk bisa meraih profit kerap harus memangkas banyak pos pengeluaran. Bisa saja anggaran R&D dan belanja teknologi menjadi salah satu korban pemangkasan anggaran tersebut, sehingga daya saing dan aspek-aspek penting dalam digitalisasi seperti manajemen risiko dan keamanan informasi menjadi terabaikan.
Sejumlah perusahaan startup teknologi, termasuk di dalam negeri, dilaporkan telah mengalami peretasan serius. Beberapa di antaranya bahkan mengakibatkan puluhan juta data pelanggan dicuri dan diperjualbelikan di dark web.
Halaman selanjutnya: bank sebagai perusahaan teknologi...
Simak Video "Video: Google Prediksi Ekonomi Digital RI Capai USD 90 M Tahun Ini"
[Gambas:Video 20detik]