Saatnya Bank Jadi Perusahaan Teknologi dan Tulang Punggung Ekonomi Digital
Hide Ads

Kolom Telematika

Saatnya Bank Jadi Perusahaan Teknologi dan Tulang Punggung Ekonomi Digital

Timothy Utama - detikInet
Minggu, 25 Jul 2021 07:51 WIB
different currencies, money exchange concept, finance and trading
Ilustrasi bank digital (Foto: Getty Images/iStockphoto/anyaberkut)
Jakarta -

Proses digitalisasi dan transformasi digital terjadi di seluruh dunia. Perekonomian dunia yang sebelumnya sangat bergantung pada kegiatan ekonomi yang bersifat fisik (brick and mortar), perlahan mulai digeser oleh ekonomi digital. Laporan Brookings Institution yang bertajuk Trends in the Information Technology sector mengungkapkan, ekonomi digital global pada 2019 atau sebelum pendemi mencapai angka US$11,5 triliun atau 15,5% GDP dunia. Meski terlihat kecil, ekonomi digital dunia tumbuh 2,5 kali GDP dalam 15 tahun terakhir.

Dalam periode yang sama, ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara mencapai US$100 miliar menurut data Google -Temasek - Bain & Company. Indonesia menjadi penyumbang terbesar bagi ekonomi digital Asia Tenggara yakni US$41 miliar atau lebih dari 40%.

Pada tahun 2020 ketika pandemi COVID-19 mencapai fase terburuk, seluruh negara di kawasan Asia Tenggara melaporkan pertumbuhan GDP negatif. Singapura, misalnya mengalami pertumbuhan GDP sebesar -4,5% pada 2020 berdasarkan data Nikkei. GDP Indonesia sendiri tumbuh -2,7% pada tahun lalu, menurut data BPS.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagaimana dengan ekonomi digital? Ternyata kondisinya berbeda. Menurut data Google-Temasek-Bain & Company, ekonomi digital Asia Tenggara tumbuh +5% pada 2020. Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi digital yang lebih tinggi lagi yakni +11%!

Mengapa demikian? Meskipun beberapa sektor bisnis seperti perjalanan online turun tajam, pandemi COVID-19 yang memaksa orang-orang untuk melakukan berbagai aktivitas di rumah membuat aktivitas online lain meningkat. Untuk e-commerce, misalnya, Bank Indonesia (BI) memperkirakan transaksi sepanjang 2020 mengalami lonjakan sebesar 23,1% dari tahun sebelumnya yakni mencapai Rp253 triliun, dari Rp205,5 triliun pada 2019.

ADVERTISEMENT

Tapi jangan salah, transaksi digital perbankan juga meningkat pesat pada 2020. Menurut laporan BI, volume transaksi digital perbankan pada 2020 meningkat 41,53% (yoy) mencapai 513,7 juta transaksi dengan nilai transaksi sebesar Rp 2.774,5 triliun.

Ekonomi digital kerap dikaitkan dengan startup unicorn yang bergerak di bidang teknologi. Ironisnya, hampir semua startup unicorn yang sering digadang-gadang sebagai 'tulang punggung ekonomi digital' memiliki fundamental bisnis yang tidak sustainable. Menurut data yang dirangkum Jeffrey Lee Funk , konsultan teknologi dan mantan associate professor di National University of Singapore, dari 76 startup unicorn yang melakukan IP0 beberapa tahun lalu, hanya 6 yang sudah profit pada 2019. Salah satunya adalah Zoom, platform konferensi video berbasis cloud yang naik daun di masa WFH dan PJJ saat ini.

Jeffrey melaporkan bahwa pada 2020, dari 69 startup yang menyandang gelar 'unicorn', hanya 7 startup yang profit. Zoom menjadi startup unicorn yang membukukan profit terbesar tahun lalu.

Startup-startup unicorn yang berdarah-darah tersebut selama ini bisa survive karena suntikan modal yang terus menerus dari investor lama dan meraih pendanaan dari investor-investor baru. Salah satu dampak model bisnis startup seperti itu adalah saham milik para pendiri terdilusi dengan cepat. Tidak jarang kepemilikan mayoritas pada akhirnya menjadi milik investor yang berasal dari negara lain, sehingga perannya sebagai tulang punggung ekonomi digital negara menjadi semakin abu-abu.

Dampak lainnya adalah startup yang berjuang keras untuk bisa meraih profit kerap harus memangkas banyak pos pengeluaran. Bisa saja anggaran R&D dan belanja teknologi menjadi salah satu korban pemangkasan anggaran tersebut, sehingga daya saing dan aspek-aspek penting dalam digitalisasi seperti manajemen risiko dan keamanan informasi menjadi terabaikan.

Sejumlah perusahaan startup teknologi, termasuk di dalam negeri, dilaporkan telah mengalami peretasan serius. Beberapa di antaranya bahkan mengakibatkan puluhan juta data pelanggan dicuri dan diperjualbelikan di dark web.

Halaman selanjutnya: bank sebagai perusahaan teknologi...

Tapi harus diakui, pertumbuhan pesat ekonomi digital dan fenomena startup teknologi telah mempengaruhi bisnis berbagai perusahaan tradisional. Pandemi membuat pengaruh tersebut kian terasa. Pembatasan sosial untuk mencegah penyebaran COVID-19 seperti PSBB dan PPKM Mikro, misalnya, membuat banyak gerai-gerai fisik kehilangan pelanggan. Agar bisnis tidak terpuruk, mereka pun meningkatkan kegiatan perdagangan online mereka dengan metode pembayaran yang semakin beragam.

Upaya seperti itu kerap membuahkan hasil. Sebuah brand elektronik lokal yang biasa mengisi rak-rak di berbagi supermarket, misalnya, belum lama ini mengklaim mampu menggenjot pendapatan online mereka di 2020 menjadi 3 kali lipat dari tahun 2019.

Sektor perbankan, termasuk Bank Mandiri, juga turut terpengaruh. Meningkatnya kebutuhan akan transaksi non-tunai atau digital di masa pandemi membuat bank 'dipaksa' untuk meningkatkan kemampuan infrastrukturnya online banking, mobile banking, uang elektronik dan layanan-layanan non-tunai lainnya. Pada 2020, Bank Mandiri mengalami pertumbuhan transaksi digital yang sangat pesat yakni lebih dari 50% yoy dengan lebih dari 160 juta transaksi.

Saat ini juga muncul beragam fintech yang menawarkan layanan keuangan yang mudah dan fleksibel ke para konsumen yang belum memiliki rekening bank. Maka bank pun dituntut untuk memberi layanan serupa seperti pembukaan rekening secara online dengan verifikasi yang mudah dan tetap aman serta menawarkan layanan kredit mikro dengan bunga yang lebih kompetitif dengan mekanisme kerja sesuai peraturan yang ditetapkan oleh regulator.

Bahkan tidak mustahil bagi bank konvensional yang punya fondasi yang kuat untuk melangkah lebih jauh dengan layanan-layanan digital inovatif yang selama ini hanya ditawarkan oleh startup teknologi.

Bank Mandiri misalnya memiliki fundamental bisnis yang solid karena ditopang oleh operasional bisnis yang profit dari kuartal-ke-kuartal. Dengan operasional bisnis yang terus profit, kami mengalokasikan anggaran yang besar untuk R&D dan investasi teknologi-teknologi baru serta merekrut SDM-SDM teknologi terbaik di tanah air, termasuk dari kalangan milenial dan Gen Z yang sangat paham dengan tren-tren digital terkini.

Jadi tidak berlebihan bahwa dengan mengusung visi Mandiri Digital kami bisa mengklaim bahwa Bank Mandiri saat ini tidak sekedar bank tapi juga perusahaan teknologi yang mampu menawarkan layanan-layanan berbasis teknologi yang reliable, tanpa mengesampingkan aspek manajemen risiko dan keamanan informasi, termasuk perlindungan data nasabah.

Salah satu terobosan yang tengah digodok oleh Bank Mandiri adalah sebuah SuperApp, layanan yang selama ini identik dengan startup unicorn teknologi. SuperApp ini antara lain menawarkan pembukaan rekening yang semakin mudah, di mana saja dan kapan saja, pengalaman perbankan yang komprehensif, layanan finansial yang lengkap, ekosistem terbuka dan mampu mendorong ekonomi digital melalui ekosistem digital dalam aplikasi.

Banyak hal yang kami siapkan dalam payung Mandiri Digital yang akan kami umumkan dalam waktu dekat. Ini merupakan bagian dari komitmen kami bahwa sebagai perusahaan lokal dengan status BUMN, kami bertekad menjadi bagian dari tulang punggung ekonomi digital Indonesia yang menjadi tumpuan harapan kebangkitan ekonomi pada saat ini dan di masa yang akan datang.

*Timothy Utama adalah Direktur Teknologi Bank Mandiri.



Simak Video "Video: Google Prediksi Ekonomi Digital RI Capai USD 90 M Tahun Ini"
[Gambas:Video 20detik]