Menurut data yang dirilis Asosiasi Fintech Indonesia disebutkan bahwa 80% pertumbuhan perdagangan online saat ini dominasi oleh aktvitas jual beli yang berlangsung di social commerce.
Walaupun masih menggunakan metode tradisional di platform sosial seperti Facebook, Instagram, BBM, Line dan WhatsApp, terdapat 2,7 juta transaksi setiap harinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mulai dari adanya percakapan panjang antara seller dan buyer untuk mengetahui detail produk yang ditawarkan hingga metode pembayarannya. Ini juga berarti semakin besar kemungkinan praktik penjualan barang dan jasa abal-abal yang kerap merugikan konsumen.
Permasalahan social commerce yang mayoritas terjadi di kalangan usaha kecil dan menengah (UKM) itu pun akhirnya dilirik jadi ladang bisnis baru. Tak hanya oleh perusahaan payment gateway dan financial technology (fintech) lokal, tapi juga oleh pemain asing.
Salah satunya adalah Xfas, misalnya, layanan solusi social commerce hasil kolaborasi dari payment gateway provider lokal, Faspay, dan perusahaan fintech Xfers dari Singapura.
"Kami masih melihat banyak yang mau jual barang, terus diunggah ke media sosial mereka, dan banyak percakapan panjang soal detail barang serta cara bayarnya," kata Vice President Business Development Faspay, Eddy Tju, Kamis (27/4/2017).
Dengan menerapkan Payment Card Industry-Data Security Standard atau PCI-DSS, kata Eddy, Xfas sudah aman untuk diakses dalam bertransaksi, khususnya bagi pelaku online shop atau individual. Konsumen pun dapat mengetahui bahwa penjual tersebut adalah penyedia barang atau jasa tersebut yang benar adanya.
"Kami ada proses verifikasi dan pemberlakuan sistem tearing. Jadi kalau saya sebagai penjual, baru masuk, baru mendaftar, saya akan mulai dengan tearing yang paling rendah," kata dia.
Dalam artian itu adalah tearing paling santai. "Dia nggak perlu submit apa-apa, kecuali nomor ponsel. Nomor itu kami verifikasi agar tahu valid atau nggak," tuturnya.
Kemudian, dia menjelaskan, secara bertahap dinaikkan kelas mereka. Dilihat histori transaksinya. Apabila melakukan transaksi yang aktif dan tercatat lebih dari satu juta, akan dimintakan dokumen tambahan seperti KTP dan NPWP.
"Kalau jumlah transaksi dia semakin besar, semakin banyak pula dokumen yang kami minta," ujar Eddy. (rou/rou)