Seperti diketahui, sejak kampanye Pilpres AS dimulai, salah satu janji kampanye Trump adalah membawa pekerjaan manufaktur kembali ke AS. Salah satunya, memaksa Apple membuat iPhone di kampung halamannya.
Selama ini, perusahaan yang bermarkas di Cupertino, California, AS tersebut bergantung pada Foxconn di China untuk merakit iPhone mereka. Trump berharap, dengan mengenakan tarif 45% pada produk asal China, akan membuat Apple lebih tertarik memproduksi perangkat di negerinya sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Strategi ini sangat lemah. Ada banyak tempat lain untuk memproduksi smartphone. Dan pada kenyataannya, manufaktur elektronik di China saat ini sudah mulai mahal. Jadi mudah saja untuk berpindah ke negara lain selain China," kata senior analis dari firma riset Canalys, Tim Coulling, seperti dikutip detikINET dari Forbes, Kamis (17/11/2016).
Dia memberikan contoh negara lainnya adalah Vietnam. Samsung, sebagai rival Apple, membuat lebih dari sepertiga smartphonenya di negara Asia Tenggara, di mana ongkos buruh lebih murah dibandingkan di China.
Sumber lain yang dilansir The Economist melaporkan, tahun lalu rata-rata pekerja pabrik di China dibayar sekitar Rp 368 ribu per hari. Dibandingkan dengan Vietnam, bayaran mereka sekitar Rp 90 ribu, sangat jauh bedanya.
Dan Foxconn sudah mulai membidik negara tersebut. Mei tahun ini, Foxconn mengambil alih fasilitas pembuatan smartphone yang semula milik Microsoft di Vietnam, melalui anak perusahaannya FIH Mobile.
Pabrik Foxconn yang memproduksi iPhone di Shenzhen, China Selatan, bisa dengan mudah memindahkan aktivitas perakitan dan bahkan kapasitas produksi secara penuh ke Vietnam. Jadi, menurut para pengamat industri, sia-sia saja Trump memaksa Apple membuat iPhone di AS.
(rns/rou)