Masalah tarif SMS lintas operator kini jadi perbincangan hangat di industri telekomunikasi karena Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sedang menyelidiki praktik kartel yang dilakukan operator seluler dan Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI).
Berdasarkan data yang dimilikinya, KPPU menilai, tarif yang wajar untuk SMS lintas operator seharusnya hanya sekitar Rp 100 karena besaran tarif produksi yang dikeluarkan operator hanya berkisar Rp 76.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kajian yang dilakukan oleh konsultan tersebut hanya untuk interkoneksi di mana yang dihitung hanya tarif terminasi dan originasi berdasarkan network element cost. Karena itu muncul angka Rp 76, yakni Rp 38 dikalikan dua," jelas salah satu eksekutif yang tak mau disebut namanya, Rabu (16/8/2008).
Metode yang digunakan konsultan tersebut, lanjutnya, berbasis Long Run Incremental Cost (LRIC) di mana asumsi untuk menghitung tarif SMS berdasarkan efficiency network design. Asumsi tersebut, menurutnya, tidak memperhitungkan kapasitas-kapasitas cadangan untuk event tertentu, misalnya: Lebaran, Natal atau Tahun Baru. "Padahal mempersiapkan jaringan untuk event-event tersebut memerlukan investasi yang tidak sedikit," keluhnya.
Sedangkan dari sisi operator, keluhnya lagi, metode penghitungan yang dilakukan memasukkan beberapa komponen biaya seperti tarif pungut retail (retail service cost), common cost (biaya penjualan, promosi, dan gaji), serta komponen pajak.
Dari tarif yang ditetapkan saat ini, retail service cost mendapatkan porsi 40%. Sementara profit hanya sebesar 10%-15% dari total biaya produksi. "Dengan metode penghitungan semacam ini saja menjadikan Indonesia berada di posisi 37 sebagai negara dengan tarif SMS termurah di dunia dari 187 negara," klaimnya.
Sudah Murah?
Sementara di lain kesempatan, Direktur Utama PT Indosat Tbk, Johnny Swandi Sjam, juga merasa tarif pungut SMS yang dikenakan operator pada masyarakat sudah terhitung murah. Ia pun membandingkan antara tarif pungut SMS yang berlaku di Eropa dan di Indonesia saat ini.
Di Eropa, kata dia, tarif pungut yang dikenakan operator terhadap pelanggan korporat untuk pembelian SMS secara wholesale (bulk) dikenakan biaya sekitar US$ 2 sen - 2,5 sen, atau sekitar Rp 180 hingga Rp 250.
"Itu untuk penjualan secara bal-balan. Di Indonesia untuk retail, saya rasa wajar jika operator mengambil untung sedikit lebih mahal (hingga Rp 350) dibandingkan bulk SMS," jelas Johnny yang sebelumnya juga menjabat sebagai Ketua ATSI.
Selain itu, lanjut dia, di Eropa dan beberapa negara lainnya, operator menerapkan skema berbasis interkoneksi untuk SMS, di mana penerima dan pengirim dikenakan biaya. Sedangkan di Indonesia yang diterapkan adalah skema Sender Keep All (SKA) atau hanya si pengirim yang dikenakan biaya.
"Dengan skema seperti itu, tarif SMS retail di Jerman bisa mencapai Rp 2.600. Coba bandingkan dengan di Indonesia yang cuma Rp 250-Rp 350," tandasnya. Nah, bagaimana menurut Anda? (rou/wsh)