Layanan seperti X, ChatGPT, Spotify, Canva hingga layanan pemantau gangguan DownDetector ikut tumbang selama berjam-jam setelah Cloudflare mengalami error yang meluas.
Insiden ini menambah daftar panjang outage dalam sebulan terakhir, setelah sebelumnya Microsoft Azure dan Amazon Web Services (AWS) juga mengalami gangguan besar.
Mehdi Daoudi, CEO sekaligus co-founder platform pemantau performa internet Catchpoint, menyebut rangkaian masalah ini harus menjadi peringatan keras bagi perusahaan teknologi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Semuanya menaruh 'telurnya' dalam keranjang yang sama, dan mereka terkejut saat terjadi masalah. Ini harusnya menjadi tanggung jawab perusahaan untuk memastikan mereka punya redundansi dan ketahanan," ujar Daoudi, seperti dikutip detikINET dari The Verge, Rabu (19/11/2025).
Cloudflare selama ini menjadi salah satu tulang punggung internet masa kini yang terbesar. Perusahaan tersebut mengelola content delivery network yang menjaga situs tetap online, sekaligus menyediakan proteksi DDoS, DNS, dan sejumlah layanan keamanan lain.
Tahun lalu, Cloudflare menyebut sekitar 20% lalu lintas web global melewati jaringannya dan 35% perusahaan dalam daftar Fortune 500 menjadi klien mereka, di luar "jutaan" pelanggan lainnya.
Besarnya peran Cloudflare memperlihatkan betapa terpusatnya industri infrastruktur internet saat ini. Setelah outage AWS membuat layanan pesan terenkripsi Signal ikut tumbang, Presiden Signal, Meredith Whittaker, mengatakan perusahaan tak punya pilihan lain selain bergantung pada penyedia cloud raksasa.
Meski begitu, rentetan outage terbaru menunjukkan bahwa perusahaan harus memiliki rencana cadangan.
"Masalah pemadaman akan terus ada, dan hal itu akan terus terjadi secara rutin. Besarnya dampak akan terus bertambah. Pertanyaannya, apa yang akan kamu lakukan untuk menghadapi ini?" pungkas Daoudi.
Berbeda dengan gangguan Azure dan AWS yang dikaitkan dengan masalah DNS, Cloudflare menelusuri akar masalahnya ke sebuah file konfigurasi internal. Menurut juru bicara Cloudflare, Jackie Dutton, masalah utamanya terjadi pada file konfigurasi yang dibuat secara otomatis untuk mengatur lalu lintas masalah.
"File itu menjadi sangat besar, jauh lebih besar dari ukuran yang diperkirakan dan memicu crash di sistem software yang mengatur lalu lintas untuk sejumlah layanan Cloudflare," jelas Dutton.
Kasus Cloudflare ini kembali menyoroti satu kenyataan: internet modern semakin bergantung pada sedikit pemain besar, dan ketika salah satu tumbang, dampaknya terasa di seluruh dunia.
(asj/asj)











































