Mastel Dukung Kerja Sama OTT dengan Operator Telekomunikasi
Hide Ads

Mastel Dukung Kerja Sama OTT dengan Operator Telekomunikasi

Anggoro Suryo Jati - detikInet
Sabtu, 30 Jan 2021 19:30 WIB
Layanan video on demand pertama dan terbesar di Asia secara resmi hadir di Indonesia, Kamis (14/4/2016). Hanya dengan berlangganan Rp 49,500 perbulan kita bisa menikmati revolusi dunia hiburan film dan serial TV Internasional dan lokal terbaik dengan lebih dari 35.000 jam. HOOQ Menjadi yang pertama di Asia dengan menggandeng tiga perusahaan media raksasa Singtel, Sony Picture dan Warner Bros yang dapat disaksikan melalui berbagai media seperti Komputer, Smartphone, Tablet, Smart TV dan dekoder. (FOTO: Rachman Haryanto/detikcom)
Ilustrasi video on demand. Foto: Rachman Haryanto

Menurut Nonot, Presiden Joko Widodo juga sudah memberi arahan yang tegas dan jelas tentang pentingnya kedaulatan digital yang harus tanpa kompromi dan harus memberi manfaat besar bagi Indonesia.

Namun di sisi lain, para raksasa platform OTT yang tengah bersaing memperebutkan pasar pengguna aplikasi global yang mereka miliki akan berusaha keras meyakinkan para penentu kebijakan tertinggi di Indonesia dan negara lainnya untuk tidak mengatur internet atau untuk tidak mengatur kehidupan online warga negaranya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Biasanya mereka berdalih 'biarkan internet bebas agar rakyat bebas berinovasi dan mengekspresikan diri'. Padahal, Pemerintah Indonesia berusaha keras merangkul para raksasa ini agar menjadi objek pajak Indonesia melalui paket pengaturan dari Menteri Keuangan. Contohnya seperti pajak transaksi online di dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 dan aturan lainnya," jelasnya.

Agar negara bisa mendapatkan manfaat pembayaran pajak dari OTT, Mastel menurut Nonot mendorong Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk bersinergi dengan Kementerian Keuangan untuk melaksanakan arahan Presiden Joko Widodo dengan mengupayakan aturan pelaksanaan kerjasama antara platform aplikasi/OTT global dengan penyelenggara jaringan nasional/domestik.

ADVERTISEMENT

"Tukang pulsa saja mau dikenai PPN dan PPH, masa OTT asing yang mendapat triliunan rupiah dari masyarakat Indonesia dibiarkan tidak ada berkontribusi ke negara. Bahkan tidak mau permisi mengurus izin, membangun kantor di Indonesia, tidak melaporkan perolehan pendapatan dari wilayah NKRI," tegas Nonot.

Ia memaparkan kondisi yang terjadi di industri telekomunikasi saat ini adalah para raksasa OTT menekan keras operator jaringan nasional dengan kekuatannya. Tanpa adanya regulasi yang mengatur bisnis OTT, maka pemerintah akan kesulitan menjalankan tugasnya sebagai penengah.

Apalagi sejak akhir 2019 lalu, Mastel mengendus para raksasa OTT berniat membangun jaringan kabel optik sendiri agar bisa meninggalkan para operator.

"Artinya pada waktu yang tidak lama lagi, platform/OTT ini akan punya jaringan sendiri dan akan mendisrupsi industri telekomunikasi. Apakah harus menunggu industri telko mati, baru mulai berpikir? Atau bahkan membiarkan platform/OTT global itu menguasai semuanya dengan dalih hukum alam yang liberal?," tanya Nonot.

Ia menegaskan jika OTT tidak segera diatur, dalam jangka panjang akan banyak operator telekomunikasi lokal tidak dapat bersaing dengan OTT global dan 'gulung tikar'. Kondisi yang membuka lebar potensi ancaman bagi kedaulatan digital Indonesia.



Simak Video "Video: Momen 8 Orang Terjaring OTT KPK di OKU Dibawa ke Jakarta"
[Gambas:Video 20detik]
(asj/asj)