'Sharing Infrastruktur Telekomunikasi Jangan Ciptakan Persaingan Usaha Tak Sehat'
Hide Ads

'Sharing Infrastruktur Telekomunikasi Jangan Ciptakan Persaingan Usaha Tak Sehat'

Anggoro Suryo Jati - detikInet
Kamis, 30 Jul 2020 21:45 WIB
Teknisi melakukan perawatan pemancar Base Transceiver Station (BTS) 4G milik PT Telkomsel di Jakarta, Rabu (28/10/205). Telkomsel terus menambah cakupan dan meningkatkan kualitas jaringan 4G LTE di Indonesia, hingga saat ini Telkomsel mengklaim memiliki lebih dari 1,5 juta pelanggan. Rachman Haryanto/detikcom.
Ilustrasi BTS operator telekomunikasi. Foto: Rachman Haryanto
Jakarta -

Agar pertumbuhan ekonomi dapat terus dijaga dengan mempertahankan beban operasional, kini muncul sharing economy di sektor industri telekomunikasi, atau sharing infrastruktur.

Untuk melihat potensi dan tantangan tersebut Sekolah Politik dan Komunikasi Indonesia mengadakan webinar dengan tema Penerapan Sharing Economy di Sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi.

Pada diskusi tersebut Meutya Hafid, Ketua Komisi I DPR Republik Indonesia mengatakan, Sharing Economy adalah sebuah model bisnis berbentuk ekonomi berbagi yang sedang menjadi sorotan lantaran maraknya pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Selain itu sharing economy membawa semangat perubahan dalam memanfaatkan TIK.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sharing economy itu ditandai dengan kompetisi itu dijadikan partner. Sesama pelaku usaha yang satu bidang atau berbeda dapat melakukan kolaborasi atau kerjasama. Ini lebih baik jika mereka tak menjadi kompetitor. Di dalam industri telekomunikasi juga dikenal dengan sharing infrastructure. Sharing infrastructure telekomunikasi ditujukan untuk mempercepat pembangunan jaringan," terang Meutya dalam diskusi tersebut.

Lanjut Meutya, Komisi I DPR RI mendukung prinsip sharing economy sebagai langkah pemanfaatan TIK dengan memperhatikan aturan dan kaidah yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia serta menerapkan prinsip usaha yang legal dan transparan.

ADVERTISEMENT

Nonot Harsono, pengamat telekomunikasi membenarkan bahwa sharing infrastruktur di industri telekomunikasi sudah terjadi. Mantan Komisioner BRTI mengingatkan bahwa saat ini sharing di industri telekomunikasi hanya sebatas sharing infrastructure pasif seperti menara, backbone dan ducting. Sedangkan sharing infrastructure aktif belum diperkenankan diberlakukan di Indonesia.

"Industri telekomunikasi di Indonesia itu high resolution. Saat ini untuk sharing infrastruktur aktif seperti Open Access Networks (OAN) dan MVNO belum dapat diterapkan di Indonesia. Sharing hanya dapat dilakukan di jaringan backbone dengan skema sewa. Regulasi telekomunikasi Indonesia masih menggunakan UU 36/1999 yang berbasis kompetisi terbuka. Dalam konsep ini setiap perusahaan harus membangun jaringannya masing-masing. Dengan diwajibkan memenuhi komitmen pembangunan. Mereka harus melakukan efisiensi sendiri. Sehingga konsep sharing tidak bisa dijalankan," terang Nonot dalam diskusi yang sama.

Nonot menilai sharing infrastructure aktif telekomunikasi tidak mendorong penggelaran infrastruktur telekomunikasi sehingga tidak sejalan dengan upaya pemerintah dalam memperluas jangkauan dan meningkatkan bandwidth jaringan telekomunikasi.

Agar objektif pemerintah untuk memperluas jangkauan dan meningkatkan bandwidth jaringan telekomunikasi, Nonot menyarankan agar pemerintah dapat mengimplementasikan sharing pada teknologi baru. Ini disebabkan teknologi baru belum dimulainya investasi dan tidak ada kompetisinya.

Dalam penerapan teknologi existing dimana telah terdapat investasi dan kompetisi, kebijakan sharing akan merugikan pihak yang telah berinvestasi. Selain itu sharing juga bisa dilakukan di calon ibukota baru. Pemerintah dapat mendesain sejak awal jaringan telekomunikasi di ibukota baru. Termasuk untuk kebutuhan pemerintah dan masyarakat umum.

Guntur Saragih komisioner KPPU menilai penerapan sharing economy di industri ICT dan telekomunikasi Indonesia sangat bagus. Namun demikian, Guntur mengingatkan agar rencana yang terlihat bagus tersebut jangan sampai menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Justru sharing economy di industri ICT dan telekomunikasi harus bisa menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat dan menumbuhkan investasi.

"Dalam sharing economy yang harus diperhatikan agar tak menjadi pelanggaran adalah tidak boleh ada pengaturan harga, pengaturan alat produksi atau sumberdaya untuk berproduksi sehingga menimbulkan kenaikkan harga dan pengaturan area pemasaran. Tujuannya agar tidak terjadi kartel," ujar Guntur.

"Pelaku usaha tidak boleh melanggar aturan tersebut. Termasuk ketika ingin melakukan sharing economy di industri telekomunikasi. Jika ingin melakukan sharing economy di pasar yang bersangkutan, maka harus membuat joint venture. Boleh melakukan pengaturan produksi namun harus melakukan joint venture," jelasnya.

Guntur mengakui bahwa sharing economy merupakan keniscayaan. Namun di berbagai negara, pelaku usaha yang ingin melakukan sharing economy dengan mekanisme joint venture atau kerjasama operasi, diwajibkan untuk melapor kepada komisi persaingan usaha.

Selain itu, melihat tantangan pengembangan dan perluasan coverage infrastruktur telekomunikasi yang memerlukan investasi besar, Guntur menyampaikan bahwa investasi-investasi terbaik terjadi di negara-negara yang memiliki iklim persaingan usaha yang bagus.

Untuk itu, guna mendorong terjadinya percepatan pengembangan dan perluasan coverage infrastruktur telekomunikasi perlu dipastikan adanya persaingan usaha yang sehat antar operator telekomunikasi.

"Apa yang baik di negeri lain belum tentu baik diterapkan di Indonesia. Sehingga KPPU tak hanya memandang sharing economy itu sebagai industri yang besar dan efesien. Namun KPPU melihat tujuan dari sharing economy juga harus meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sehingga nantinya sharing economy tidak memberikan dampak yang negatif bagi perekonominan nasional seperti terjadinya persekongkolan, integrasi vertikal dan pengaturan harga, produksi dan/atau wilayah," terang Guntur

Halaman 4 dari 3
(asj/asj)