Jaringan Telekomunikasi di Daerah Terpencil Masih Minim
Hide Ads

Jaringan Telekomunikasi di Daerah Terpencil Masih Minim

Anggoro Suryo Jati - detikInet
Sabtu, 14 Des 2019 12:04 WIB
Ilustrasi BTS. Foto: Dok. XL Axiata
Jakarta - Percepatan penggelaran jaringan telekomunikasi di seluruh wilayah Indonesia adalah salah satu isu yang disorot dalam Dialog Nasional Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel).

Pada dialog yang diadakan dalam rangka HUT Mastel ke-26 tersebut, Ketua Umum Mastel Kristiono menyoroti pembangunan infrastruktur telekomunikasi di daerah terpencil di Indonesia.

Sebagaimana diatur dalam aturan perundangan tentang telekomunikasi, untuk wilayah yang layak komersial, penggelaran jaringan dan akses komunikasi/internet diserahkan kepada swasta/BUMN.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sedangkan untuk wilayah pedesaan atau daerah terpencil, dilakukan dengan program Universal Service Obligation (USO). Agar seluruh warga negara dapat dijangkau oleh layanan akses internet yang memadai, diperlukan harmonisasi antara penggelaran jaringan telko oleh para operator dengan penggelaran jaringan di wilayah USO agar tidak terjadi overlapping yang dapat merugikan.


Menurutnya, saat ini pemerintah melalui Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) memang melakukan pembangunan infrastruktur telekomunikasi di daerah terpencil. Namun pembangunannya di sebagian kecil daerah saja, tepatnya 57 kabupaten kota dari total 514 kabupaten kota di Indonesia.

"Selain itu dana yang dimiliki oleh BAKTI juga kecil. Mereka hanya mendapatkan sumbangan dari dana USO operator telekomunikasi. Memang Palapa Ring sudah jadi. Namun yang dibangun BAKTI tersebut baru backbone," ungkap Kristiono dalam keterangan yang diterima detikINET.

Untuk memberikan layanan telekomunikasi yang bisa dinikmati oleh masyarakat selain backbone, Pemerintah juga harus menyediakan backhaul dan last mile. Agar operator mau membangun backhaul dan last mile di daerah USO, menurut Kristiono Pemerintah harus memberikan dukungan penuh.


Ditambahkannya, pembangunan backhaul dan last mile di daerah USO seharusnya menjadi tanggung jawab Pemerintah karena operator sudah menyetor dana USO.

"Jika operator harus ditugaskan kembali maka Pemerintah harus memberikan insentif. Seperti memberikan hak eksklusif kepada salah satu operator daerah tersebut. Sebab di daerah USO tidak ada kompetisi. Jika dikompetisikan tak ada operator yang mau,"ujar Kristiono.

Selain itu untuk daerah USO, Pemerintah dapat memberikan insentif berupa subsidi kepada masyarakat dengan menutupi biaya selisih antara biaya operasional operator dengan pendapatan di daerah tersebut. Sehingga yang disubsidi oleh Pemerintah itu adalah layanan telekomunikasi masyarakat di daerah USO, bukan operator penyedia backbone tertentu.

Selanjutnya agar tugas BAKTI efektif dan efesien, Kristiono meminta agar Pemerintah melakukan harmonisasi tugas antara BAKTI dan operator telekomunikasi. Saat ini harmonisasi antara BAKTI dan operator belum pernah terjadi. Ini dapat dilihat dari BAKTI yang memiliki satelit untuk backbone.

"Pembelian satelit oleh BAKTI harusnya diharmonisasi dengan operator. Tujuannya agar BAKTI tidak berkompetisi dengan operator. BAKTI seharusnya menjadi Regulator bukan malah berkompetisi dengan operator telekomunikasi. BAKTI bukan penyelenggara layanan telekomunikasi dan mereka tak patut memiliki lisensi," papar Kristiono.


Ia pun menyoroti UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomukasi, khususnya pasal 16 yang menyebutkan bahwa operator telekomunikasi harus membangun di daerah USO. Jadi, pembangunan sarana dan prasara telekomunikasi di daerah USO merupakan kewajiban operator penyelenggara jaringan telekomunikasi.

"Bukan malah saat ini operator 'malas' membangun dan hanya membayar 1,25% dari gross revenue saja. Dengan merasa telah membayar operator tidak memiliki kewajiban membangun jaringan telekomunikasi. Hal itu tidak sejalan dengan semangat dari UU Telekomunikasi," tutup Kristiono.