"Tentu saja kami tertarik jika memang frekuensi tersebut akan dikembalikan dan dilelang pemerintah. Frekuensi barang langka, kalau habis, ya habis," ujar Deputi CEO Smartfren Djoko Tata Ibrahim dalam wawancara eksklusif dengan CNBC TV Indonesia, Kamis (3/1/2019).
Selain itu, ia juga mengungkap rencana Smartfren untuk menambah jumlah Base Transceiver Station (BTS) sebanyak 8.000 unit yang tersebar di seluruh Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti diberitakan sebelumnya, Internux selaku pemilik brand Bolt memiliki lisensi Broadband Wireless Access (BWA) di area Jabodetabek. Sedangkan di Medan, mereka bekerja sama dengan PT First Media Tbk (KBLV) yang punya lisensi BWA di sana. Baik Internux maupun PT First Media Tbk (KBLV) sama-sama di bawah payung Lippo Group.
Kewajiban membayar BHP frekuensi tak dipenuhi oleh kedua perusahaan tersebut. Pada akhirnya, sesuai aturan yang berlaku, bila tak melunasi utang selama 24 bulan, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencabut izin penggunaan frekuensi di 2,3 GHz yang dipakai Bolt.
Selama ini Bolt memanfaatkan spektrum frekuensi 2,3 GHz dengan sumber daya seluas 30 MHz untuk menggelar layanan 4G LTE. Bila Smartfren tertarik untuk memboyong spektrum frekuensi milik Bolt tersebut, maka Smartfren akan memiliki alokasi sebesar 60 MHz di pita frekuensi 2,3 GHz.
Sejak resmi menyatakan penghentian penggunaan pita frekuensi 2,3 GHz, Kominfo tak langsung segera menentukan nasib alokasi peninggalan Bolt itu. Begitu yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Kementerian Kominfo Ismail.
"Belum ada skenario detailnya akan seperti apa (nantinya). Kita akan bahas, karena (spektrum) ini kan kembali ke negara," kata Ismail.
(agt/krs)