Kebijakan yang jadi perhatian Ombudsman adalah soal rencana penurunan biaya interkoneksi. Setelah sekian lama diperdebatkan dan jadi polemik, kebijakan itu akhirnya ditunda lagi, bahkan sampai dua kali.
Yang menarik, implementasi dari kebijakan penurunan tarif ini tak hanya sekadar ditunda tiga bulan saja, tapi juga akan dihitung ulang menggunakan jasa verifikator independen. Nah, hal ini yang mengusik perhatian dari Ombudsman.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun di sisi lain, kata dia, hal itu menunjukkan bahwa Kominfo dan BRTI tidak punya dasar kuat saat memutuskan untuk menurunkan biaya interkoneksi seluler 26% dari Rp 250 menjadi Rp 204 melalui Surat Edaran pada 2 Agustus 2016 lalu.
"BRTI harus bisa memberikan penjelasan mengenai parameter yang digunakan untuk menghitung tarif interkoneksi kepada publik. Jika reasonable, mengapa mesti ragu? Seharusnya dari dulu gunakan verifikator independen, meskipun tetap saja masih bisa digugat," sesal Alamsyah di Jakarta, Senin (7/11/2016).
Kecurigaan Ombudsman pun makin menjadi-jadi, karena sudah banyak waktu yang terbuang oleh Kominfo dan BRTI dalam merumuskan peraturan ini. Dari situ timbul kecurigaan, bisa saja ada udang di balik batu dalam hal ini.
"Sebaiknya kita jangan buang-buang waktu karena sibuk bikin agenda setting. Cara-cara begini sudah ketinggalan zaman, tidak accountable. Bisa dinilai sebagai contoh kinerja buruk pembuat kebijakan," masih kata Alamsyah.
"Mungkin sudah waktunya BRTI dipisahkan dari kementerian agar bisa lebih independen. Mudah-mudahan pengambil kebijakan di sektor telekomunikasi bisa lebih baik ke depan," lanjutnya.
Terkait dengan kemungkinan ada polemik lanjutan setelah Kominfo dan BRTI menerima masukan dari verifikator independen, Ombudsman pun langsung mengingatkan."Sebaiknya lebih bijaklah. Kita sudah rugi waktu dua tahun akibat sibuk bermain-main dengan opini," tegas Alamsyah.
"Mau hasilnya sama ataupun berbeda yang penting data dan parameter yang digunakan bisa dipertanggungjawabkan. Itulah esensi akuntabilitas publik bagi pembuat kebijakan. Publik bukan orang bodoh yang bisa dikelabui dengan pembangunan opini dan agenda setting," jelasnya lebih lanjut.
"Perlu juga menjadi perhatian bahwa pembuat kebijakan tak boleh menjebak presiden agar mau melanggar hukum. Ini penting, jika tak mau memperhatikan ini sebaiknya jangan mengambil peran sebagai pembuat kebijakan. Silakan duduk manis di luar pemerintahan," tegasnya sambil memberi peringatan.
Ombudsman pun tak mau jika Presiden Jokowi terkena imbas kebijakan revisi PP No. 52 dan 53 Tahun 2000 yang bertentangan dengan UU Telekomunikasi No.36 Tahun 1999. Itu sebabnya, Ombudsman pun sampai mengeluarkan peringatan.
"Malu lah kalau sampai diuji materi ke Mahkamah Agung. Kalau ORI sampai surati presiden, ini lebih untuk menjaga hal tersebut. Kita tak punya kepentingan apa-apa terhadap hal ini. Yang tidak elok itu jika ORI membiarkan," pungkas Alamsyah. (rou/rou)