Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network
detikInet
Soal Revisi PP 52/53, Menkominfo: Saya Hormati Perintah Presiden

Soal Revisi PP 52/53, Menkominfo: Saya Hormati Perintah Presiden


Achmad Rouzni Noor II - detikInet

Foto: detikINET/Achmad Rouzni Noor II
Jakarta - Polemik terkait rencana pemerintah merevisi PP No. 52 dan No.53 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi ikut direspons oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.

"Saya hormati perintah presiden, revisi ini yang memimpin menko perekonomian," kata menteri yang akrab disapa Chief RA itu di sela diskusi INDEF di Hotel Intercontinental, Jakarta, Kamis (3/11/2016).

Tentu ada alasan kenapa Presiden Joko Widodo lebih mempercayakan Menko Perekonomian Darmin Nasution untuk memimpin proses revisi peraturan pemerintah soal telekomunikasi agar bisa tumbuh dari sisi ekonomi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sesuai dengan rencana APBN 2017, industri di sektor informasi dan komunikasi ini ditargetkan tumbuh double digit. Namun dengan kondisi saat ini, opsi yang kita miliki terbatas," papar Rudiantara.

Di satu sisi, dalam kalkulasi pemerintah, untuk menggenjot pertumbuhan double digit itu dibutuhkan biaya USD 12 miliar per tahun. Sementara, dana yang mampu disediakan oleh para operator telekomunikasi hanya sekitar USD 3 miliar tiap tahunnya.

"Itu artinya ada gap USD 9 miliar. Saya dulu di korporasi, jadi cara berhitungnya ala korporasi. Dengan balance sheet saat ini, operator tidak akan mampu dengan masalah yang sekarang," lanjut menteri yang dulunya malang melintang di sejumlah operator.

Dari sejumlah opsi yang ada, akhirnya diputuskan, bagaimana membuat industri ini efisien dari waktu ke waktu. Salah satunya dengan cara konsolidasi operator agar bisa menekan pengeluaran biaya belanja modal (capex).

"Dengan gap USD 9 miliar, industri tidak sanggup dengan masalah sekarang. Total dari dari industri seluler saja cuma USD 3 miliar. Dalam 4 tahun cuma USD 12 miliar, sementara gapnya jadi USD 27 miliar," ujar Chief RA.

Itu sebabnya, pemerintah pun turun tangan untuk mengatasi gap tersebut dengan menggelar pembangunan infrastruktur Palapa Ring. Namun sayangnya, infrastruktur backbone itu baru rampung 2019 mendatang.

"Kalau misalnya kita ambil opsi dengan membuka perizinan baru, mereka baru delivered 4 tahun kemudian. Opsinya semua dientertain, caranya dengan mengurangi kebutuhan dengan cara sharing," papar Rudiantara.

Sehingga, revisi kedua PP itu menurutnya perlu dilakukan agar industri tetap membangun dengan cara dan biaya yang lebih efisien, sembari menunggu Palapa Ring usai dan bisa digunakan sebagai backbone untuk melayani seluruh wilayah Indonesia.

"Industri ini tidak efisien strukturnya. Ada operator yang besar, ada yang kecil. Nah, yang kecil ini kalau skala ekonominya besar akan ada bargain power ke vendor (untuk menekan harga pembangunan infrastruktur) kalau mereka konsolidasi," pungkas menteri. (rou/fyk)
TAGS







Hide Ads