Transfer pricing adalah bentuk praktik pengalihan biaya dari sebuah nilai barang atau jasa antara beberapa perusahaan dalam satu nama besar sehingga menggeser laba yang harusnya masuk kas dalam negeri ke perusahaan induk asing.
"Dengan struktur kepemilikan operator yang dimiliki asing, rawan terjadi praktik transfer pricing atau pergeseran laba ke luar negeri dan Indonesia tidak menikmati keuntungan," ungkap Direktur Eksekutif Center for Indonesian Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo di Cikini, Jakarta, Selasa (11/10/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pertama, itu biaya interkoneksi kan simetris artinya harga satu. Jelas Harga Pokok Produksi (HPP) operator itu beda, bagi yang HPP rendah tentu dapat marjin, nah yang HPP tinggi siapa yang menanggung sunk cost? Kan harusnya dari biaya interkoneksi," ulasnya.
Kedua, jika revisi kedua PP yang merupakan turunan dari Undang-undang telekomunikasi itu dijalankan, bica memicu praktik monetisasi frekuensi di secondary market.
"Nah, ini kalau dilihat yang untung banyak sebagian operator, tetapi paling rugi operator yang sudah banyak bangun dan negara karena potensi pajak hilang," ulasnya.
Diingatkannya, jika pun nanti terjadi profit yang bertambah dari penerapan network sharing tidak selalu meningkatkan penerimaan negara lewat pajak.
Jika revisi itu resmi diberlakukan, maka hanya beberapa operator seluler yang menanggung keuntungan dari adanya network sharing. Sebagian besar keuntungan tersebut nantinya justru bakal mengalir ke kantong perusahaan induk mereka di luar Indonesia, sehingga kontradiktif terhadap upaya tax amnesty.
Diungkapkannya, dalam pencatatan keuangan di Indonesia salah satunya yang banyak diakali adalah Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Penarikan item ini di Indonesia jika sebuah perusahaan untung.
"Laba bisa di-create mau untung atau rugi. Rugi bisa terjadi karena rugi fiskal akibat selisih kurs, biaya bunga, dan lainnya. Bahkan ada yang canggih seperti memasukkan item yang bisa menekan keuntungan atau menggeser keuntungan, padahal secara akademis bisa dilihat itu substance to perform atau tidak.
"Kalau kita menganut pajak dikenakan atas omzetnya, itu gampang ngawasinnya. Tapi, karena kita basisnya profit, profit bisa di-create dan tampaknya merugi. Ini harus cermat melihatnya," ungkapnya lebih lanjut.
Merujuk pada laporan keuangan 2015, lanjutnya, hanya Telkomsel yang membayar pajak PPh badan. Sedangkan, XL Axiata dan Indosat Ooredoo tidak dikenakan PPh badan karena perusahaan merugi.
"Keduanya tidak bayar pajak PPh Badan karena merugi. Rugi fiskal karena selisih kurs, ada biaya bunga, itu yang mengherankan sebenarnya. Industri telekomunikasi sampai merugi," sesalnya.
Secara terpisah, Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala mengingatkan, revisi kedua PP tersebut jika dijalankan menyimpan potensi moral hazard dan bisa melempangkan praktik Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) di industri telekomunikasi.
"Saya itu paling khawatir jika ini (hasil revisi) dijalankan nilai birokrat dianggap bagian dari korporasi, sementara permainan korporasi dibawa ke birokrat," ujarnya, Rabu (12/10/2016).
"Meminjam istilah mantan Menko Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli, kolaborasi 'pengpeng' alias penguasa-pengusaha ini yang berbahaya mengatur industri. Sebaiknya dibuka draft dan konsultasi publik yang lebih transpran saja agar tak menjadi ghibah di kemudian hari," pungkas Kamilov. (rou/rou)