Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network
detikInet
Menkominfo Buka-bukaan Network Sharing

Menkominfo Buka-bukaan Network Sharing


Achmad Rouzni Noor II - detikInet

Menkominfo Rudiantara (Foto: Lamhot Aritonang)
Jakarta - Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengaku tak banyak ikut campur tangan dalam Revisi Peraturan Pemerintah No. 52/2000 dan No. 53/2000. Namun ia setuju ketika aturan baru itu mewajibkan operator untuk membuka akses jaringan bagi operator lain.

"Saya cuma dapat surat tembusannya saja. Saya sendiri kan sudah tidak ikut lagi di pembahasan PP-nya. Saya cuma ikut sekali rapat menteri, habis itu nggak ikut lagi," ujarnya saat ditemui usai rapat dengan Komisi I DPR RI, di gedung Nusantara II DPR, Senayan, Jakarta, Senin (26/9/2016).

Dengan telah keluarnya surat tembusan dari Menko Perekonomian, itu artinya draft revisi PP Nomor 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan perubahan terhadap PP Nomor 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit telah final.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kedua PP ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Pokok perubahan terhadap kedua PP tersebut intinya mengatur masalah backbone network (jaringan) sharing dan akses (spektrum) jaringan antar operator.

Revisi kedua PP ini kabarnya telah berada di Sekretariat Negara untuk dilakukan pemeriksaan terakhir sebelum diajukan ke Presiden Joko Widodo untuk ditandatangani. Namun Rudiantara mengaku tak tahu menahu prosesnya sudah sampai mana, karena menurutnya, bukan ia yang memimpin perubahaan PP tersebut.

Dalam dokumen yang beredar, ada wacana yang lumayan menggelitik. Isi draft menyatakan perlunya sharing atas infrastuktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang mencakup backbone dan jaringan.

Sharing atas backbone bersifat mandatory (wajib) sedangkan sharing atas jaringan telekomunikasi bersifat business to business (B2B) dalam keadaan tertentu yang didasarkan atas penciptaan persaingan usaha yang sehat, pencapaian efisiensi, dan perwujudan keberlanjutan penyelenggaraan jaringan.

Masih dalam dokumen itu, dinyatakan pemerintah menghitung nilai investasi dan nilai kompensasi atas pelaksanaan sharing per wilayah dan dalam pelaksanaan perhitungan dapat menugaskan auditor independen.

Pemerintah juga menetapkan biaya atas penggunaan backbone yang dibangun oleh pemerintah dan dihitung sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Bisa dikatakan jika draft ini benar adanya, artinya tak ada perubahan yang terjadi dengan revisi sebelum diambil alih oleh kantor Menko Perekonomian.

Seperti ramai diberitakan sebelumnya, rencana pemerintah untuk mengimplementasikan skema berbagi jaringan ini mulai ramai diperbincangkan di industri dalam beberapa pekan terakhir.

Seperti pada kebijakan interkoneksi, kebijakan ini juga sama-sama menimbulkan polemik di kalangan operator. Ada yang menolak, ada yang mendukung. Namun menteri tetap akan jalan terus mengikuti instruksi dari surat tembusan yang ia terima.

"Setahu saya, ada rapat yang diikuti operator, saya sendiri tidak ikut. Setelah itu saya baru mendapatkan surat tembusan yang isinya kurang lebih begitu. Nanti akan dituangkan dalam peraturan menteri," lanjut Rudiantara.

Operator Wajib Buka Akses

"Dari surat yang saya peroleh tembusannya, untuk backbone itu harus diwajibkan ada open access kepada siapa pun," masih kata menteri yang akrab disapa Chief RA itu.

"Tetapi nantinya harus memperhitungkan nilai investasi yang sudah dikeluarkan, terutama daerah-daerah yang boleh dikatakan remote area. Nanti itu semua akan dituangkan dalam Peraturan Menteri," lanjutnya.

Kemudian dalam Peraturan Menteri yang nantinya akan diterbitkan dan ditandatangani Rudiantara, apakah akan ditentukan daerah mana saja yang boleh di-sharing jaringannya oleh operator?

"Bukan, bukan, bukan. Kita tahu, backbone yang terbatas itu adalah daerah-daerah yang dianggap secara keuangan tidak feasible, it is not financially feasible. Karenanya kita masuk dalam Palapa Ring. Nah, kurang lebih daerah-daerah yang masuk Palapa Ring saja," katanya.

Berarti, bukan daerah yang sekarang telah dibangun oleh operator? Hal itu pun coba dikonfirmasikan kepada menteri.

"Sebentar, daerah yang sudah dilayani operator, seperti Papua, misalkan. Ada operator yang sudah membangun, Telkom, ya kita harus mengapresiasi. Kalau itu dibuat open access ya kita harus hitung investasinya berapa," jelas menteri.

Apa akan dibikin petanya? "Belum ada petanya. Nanti akan dituangkan dalam peraturan menteri. Dalam Peraturan Menteri ini akan kita cari cara di daerah yang mana."

"Nanti kita juga bisa meminta pihak ketiga yang independen seperti BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) untuk melakukan penghitungan agar fair. Mau di-share sama yang lain kan harus diperhitungkan," jelas menteri.

Lalu, apakah masalah infratruktur sharing ini sudah mendapat persetujuan dari Presiden Joko Widodo?

"Saya nggak tahu. Saya cuma dapat tembusan saja," kata menteri. Tapi menurutnya, kebijakan network sharing ini tak akan berlarut-larut menjadi polemik jika program Palapa Ring sudah berjalan.

"Kalau Palapa Ring sudah selesai, isu ini tidak ada lagi. Kalau yang mau membangun di daerah sana, malah saya kasih insentif sama diskon

"Palapa Ring baru 57 kabupaten. Tapi secara total itu menghubungkan 80 kabupaten karena operator sudah ada yang bangun, tapi belum jadi ring," jelasnya.

Namun sayangnya, jaringan backbone Palapa Ring yang dibagi dalam tiga paket baru ditargetkan rampung pada akhir 2018 mendatang atau awal 2019. Itu artinya, dalam dua atau tiga tahun ke depan, pemerintah masih akan mengandalkan skema berbagi jaringan, khususnya backbone sharing.

Harus Ganti UU Telekomunikasi

Rencana pemerintah mewajibkan untuk membuka akses untuk berbagi jaringan backbone sempat dikritik Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB, Muhammad Ridwan Effendi.

"Tidak bisa pemerintah mewajibkan network sharing untuk backbone, sebagaimana dahulu pemerintah tidak memaksakan anggota konsorsium Palapa Ring untuk kembali bergabung," tegas Ridwan yang sempat menjabat Komisioner di Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).

Ia mengingatkan, ketika revisi PP digulirkan pada Semester I 2016 lalu, Menkominfo Rudiantara pernah menegaskan tak ada kewajiban berbagi jaringan karena itu domain bisnis B2B.

"Ini semua harus diklarifikasi dulu. Tadi tak wajib, sekarang jadi wajib. Ini kenapa draft tak dibuka saja resminya ke publik biar transparan semua," sesal Ridwan.

Ia juga mengimbau agar pemerintah berhati-hati mewajibkan berbagi jaringan karena memiliki operator yang sahamnya dikuasai negara dan memiliki infrastruktur hingga ke pelosok.

Sedangkan ahli ilmu perundang-undangan, Sony Maulana Sikumbang mengatakan, di dalam UU No. 36/1999 dan PP No. 52/2000, secara implisit melarang penyelenggara jaringan telekomunikasi untuk menyewa jaringan telekomunikasi yang dimiliki oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.

"Jadi network sharing hanya dimungkinkan antara penyelenggara jasa dan penyelenggara jaringan. Bukan antar-penyelenggara jaringan telekomunikasi," terang Sony dalam diskusi di Kampus UI Salemba, Jakarta.

Jika ingin menerapkan network sharing, Sony menyarankan agar pemerintah mau mengubah UU telekomunikasi yang ada. Menurutnya, UU telekomunikasi yang ada sudah tidak bisa mengakomodasi lagi kebutuhan industri telekomunikasi.

Menurut Sony, jika pemerintah mengubah perundang-undangan menempuh cara tambal-sulam, maka kepentingan nasional seperti anti-monopoli dan persaingan usaha tidak sehat akan terabaikan.

"Mengubah UU bisa dilakukan dengan berbagai cara. Cara taktis adalah melakukan judicial review di Mahkamah Agung," tegasnya. (rou/ash)
TAGS







Hide Ads