Seperti diketahui, interkoneksi secara harafiah merupakan keterhubungan antarjaringan telekomunikasi secara fisik. Logikanya, tak ada pihak yang merasa dirugikan ketika terjadi keterhubungan.
"Tetapi, kalau salah memberikan angka referensi yang terjadi bukan interkoneksi, tetapi numpang koneksi alias satu merasa untung, satu buntung," ungkap praktisi telekomunikasi Mochamad James Falahudin di Jakarta, Jumat (2/9/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Telkom Group sudah investasi lama dan besar untuk bangun jaringan. Operator lain dikasih kesempatan sama untuk lakukan itu, kenapa tidak kerjakan hal yang sama? Tak bisa kita lihat sesuatu di ujungnya saja, lihat secara komprehensif dong," katanya.
Menurut James, potret persaingan di industri telekomunikasi yang terjadi sekarang ini adalah akibat dari perang harga yang gencar dilakukan operator seluler sejak 7-8 tahun lalu hanya untuk rebutan akuisisi pelanggan.
"Dulu banting-bantingan harga dengan harapan bisa menggaet cukup banyak pelanggan yang dalam jangka panjang akan mengembalikan uang yang dibakar untuk akuisisi itu. Sayangnya prediksi itu nggak jadi kenyataan dan sepertinya sekarang investornya mulai lebih pelit untuk ngucurin duit. Sekarang muncul kreativitas untuk tetap bisa ekspansi dan survive dengan memanfaatkan celah regulasi. Jadinya terkesan maksa numpang koneksi judulnya," sindirnya.
Sementara dalam kesempatan terpisah, Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala menegaskan, dalam interkoneksi tak boleh ada pihak yang mengambil keuntungan.
"Kalau dilihat dengan biaya interkoneksi Rp 250 saja versi lama, sudah ada yang posisi untung, dan ada yang buntung. Coba cek saja penawaran produk dan laporan keuangan para operator itu," ungkapnya.
Menurutnya, selama ini Telkomsel mengalami kelebihan bayar, tetapi kekurangan dibayar dalam interkoneksi.
"Operator non Telkom wajar mendesak secepatnya biaya interkoneksi baru diberlakukan karena menguntungkan bagi mereka. Tapi bagaimana untuk Telkom Group? Mereka boncos selama ini karena biaya interkoneksi lama saja tak sesuai dengan recovery cost-nya. Recovery cost Telkomsel kan Rp 285/menit, pakai yang lama Rp 250/menit saja sudah minus, sekarang mau Rp 204/menit, dobel-dobel boncos dong," katanya.
Diingatkannya, jika pemerintah tetap memaksakan penurunan biaya interkoneksi terlalu besar, bisa saja terjadi fenomena keenganan operator untuk membangun jaringan dan memilih menumpang di milik pemain lain karena dinilai lebih efisien dari sisi biaya.
"Sementara cost recovery operator dominan tidak akan mencapai titik impas. Soalnya mereka menderita kerugian karena dibayar dibawah biaya produksi. Ini jangka panjangnya yang dirugikan pelanggan juga. Itulah yang diperjuangkan Telkom Group, mereka itu tetap ingin melayani rakyat Indonesia hingga pelosok. Semoga pemerintah paham," katanya.
Sebelumnya, dalam pernyataan yang disampaikan Plt. Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Noor Iza, karena Daftar Penawaran Interkoneksi (DPI) belum lengkap terkumpul maka biaya interkoneksi baru yang menjadikan penurunan 26% bagi 18 skenario panggilan seluler tak bisa dijalankan pada 1 September lalu.
Telkom dan Telkomsel dikabarkan belum memberikan DPI untuk dievaluasi oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Operator pelat merah ini tak menyerahkan DPI karena Kemenkominfo belum membalas sama sekali sejumlah surat keberatan yang dilayangkannya atas penetapan biaya interkoneksi yang diumumkan 2 Agustus lalu. (rou/fyk)