Tantangan itu disampaikan oleh Velix Wanggai, mantan staf khusus Presiden RI Periode Tahun 2009 hingga 2014. Ia bahkan meminta intervensi pemerintah untuk membangun infrastruktur telekomunikasi di kampung halamannya.
"Apalagi dinamika pembangunan Papua dan Papua Barat di masa depan menjadi kawasan investasi. Investor membutuhkan kepastian dukungan telekomunikasi di berbagai kota maupun di pelosok wilayah," kata Velix yang merupakan putra asli Papua, dalam email yang diterima detikINET, Senin (29/8/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yang menjadi pekerjaan rumah adalah daerah-daerah terpencil, pedalaman dan pulau-pulau kecil yang belum mendapat akses jaringan telekomunikasi. "Kita berharap hal ini menjadi perhatian pemerintah dan para operator yang beroperasi di Papua," kata Velix.
Sementara itu, Kepala Dinas Kominfo Propinsi Papua Kansiana Salle mengatakan, pembangunan telekomunikasi di Papua banyak dilakukan oleh Telkom. Jaringan fiber optik yang telah dibangun Telkom antara lain meliputi Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Sarmi, Kabuaten Mimika dan Kabupaten Merauke.
Sedangkan untuk pembangunan BTS, Telkomsel lebih banyak dan meliputi daerah pinggiran dan pengunungan. Ada juga BTS yang dibangun dengan biaya dari dana Universal Service Obligation (USO).
"Bangun BTS itu tergantung pasar dan return on investment (ROI). Kalau Telkom Group (Telkomsel) tentunya karena BUMN, pasti ada kebijakan pro-rakyat," kata Kansiana.
Kansiana mengatakan, dari awal, di Papua, operator mempunya kesempatan yang sama untuk membangun jaringan telekomunikasi di Papua. "Pemda sudah memberi stimulus, tetapi operator swasta kan tetap mempertimbangkan ROI," kata dia.
Pembahasan di DPR
Masalah tentang pembangunan di remote area juga sempat dibahas ketika Komisi I DPR RI memanggil Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara serta para operator terkait polemik Revisi PP 52 dan 53 tahun 2000 serta rencana penurunan tarif interkoneksi.
Ketika ditanya anggota Komisi I DPR RI mengenai siapa yang mewajibkan Telkom dan Telkomsel membangun di daerah remote, Menteri Rudiantara mengatakan dengan tegas bahwa dirinya tidak pernah meminta BUMN telekomunikasi tersebut untuk membangun di daerah remote.
"Saya tidak pernah mewajibkan Telkom untuk membangun di daerah remote," kata menteri yang akrab disapa Chief RA, kala rapat itu pekan lalu.
Budi Youyastri, anggota Komisi I dari Fraksi PAN, mengaku heran kenapa Menkominfo sampai memberikan pernyataan tersebut. Menurutnya, pembangunan jaringan telokomunikasi di wilayah terluar Indonesia memang seharusnya diserahkan ke pemerintah melalui BUMN telekomunikasi.
"Nah, tentang itu juga akan kita tanyakan ulang pada saat raker dengan Menkominfo Selasa, 30 Agustus 2016 mendatang," terang Budi.
![]() |
Apa yang disampaikan Menkominfo juga membuat Wakil Ketua Desk Ketahanan dan Keamanan Cyber Nasional, Kemenko Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Prakoso, merasa heran.
"Jika perusahaan telekomunikasi yang mayoritas sahamnya dimiliki asing tak mau membangun di daerah terpencil, lalu bagaimana pemerintah bisa memenuhi hak mereka. Selama ini, Menkominfo tidak pernah tegas kepada perusahaan telekomunikasi asing tersebut," sesal Prakoso.
Melalui email, ia menilai Menkominfo belum mengerti tentang konstitusi yang tertuang dalam pasal 28F UUD 1945. Disebutkan olehnya, dalam pasal itu dijelaskan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Selain tak mengerti prinsip dasar negara, Menkominfo juga dianggap belum memahami filosofi UU RPJM 2015 - 2019 serta prinsip dasar UU Telekomunikasi No 36 tahun 1999 dan Rencana Pitalebar Indonesia tahun 2014 β 2019. "Alangkah baiknya jika pak menteri mau membaca kembali empat aturan tersebut," kata Prakoso.
Di dalam pasal 16, UU Telekomunikasi No 36 tahun 1999 ditulis dengan jelas bahwa setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal.
"Namun kenyataannya para operator yang sahamnya dimiliki oleh asing ini hanya mengambil keuntungan bisnis saja di Indonesia. Tanpa mempedulikan nasib masyarakat Indonsia di daerah terpencil dan perbatasan," sesal Prakoso.
Ia pun memberi contoh, ketika 10 desa di Kecamatan Long Apari Kabupaten Mahakam Hulu mengancam akan pindah kewarganegaraan ke Malaysia, karena merasa tidak mendapat perhatian dan keadilan dari pemerintah khususnya dalam mendapatkan layanan telekomunikasi.
Pada saat itu pemerintah melalui BUMN telekomunikasinya langsung mengoperasikan lima BTS (Base Transceiver Station) di wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia.
"Peresmian itu sendiri padahal dilakukan oleh Menkominfo Rudiantara pada 15 Desember 2014 di Desa Tiong Ohang, Kecamatan Long Apari Kabupaten Mahakam Ulu, Provinsi Kalimantan Timur," lanjut Prakoso.
"Nah, yang jadi pertanyaan, apakah Indosat dan XL mau membangun di daerah tersebut yang sama sekali tidak menguntungkan? Selama ini terbukti operator telekomunikasi yang mayoritas sahamnya dimiliki asing tak mau membangun di daerah remote dan terpencil. Mereka hanya mau membangun di daerah yang menguntungkan saja. Karena pemerintah memiliki power yang kuat di Telkom, maka merekalah yang selama ini diminta untuk membangun," tulis Prakoso.
Komitmen Pembangunan
Setelah rapat dengan Menkominfo Rudiantara, Komisi I juga memanggil operator. Selain mempertanyakan soal polemik penurunan biaya interkoneksi, para operator juga ditagih komitmennya sesuai dengan lisensi nasional yang dimiliki.
Operator yang hadir adalah Telkom, Telkomsel, Indosat Ooredoo, XL Axiata, Hutchison 3 Indonesia (Tri), dan Smartfren Telecom.
Dalam kesempatan itu, Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah mengatakan, pihaknya setiap tahunnya selalu membangun sekitar 15 ribu BTS, termasuk di Indonesia timur dan daerah-daerah terpencil. Bahkan, kata dia, di daerah perbatasan ada 700 BTS lebih milik Telkomsel.
"Dari 120 ribu BTS Telkomsel yang ada saat ini, lebih dari 17 ribu BTS ada di daerah-daerah remote yang posisinya merugi. Meski merugi, kami tidak matikan BTS-BTS di daerah remote tersebut," kata Ririek.
Hal itu pun langsung ditanggapi oleh Evita Nursanty, anggota komisi I DPR RI. Ia menilai, pemerintah seharusnya mengapresiasi komitmen pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang telah dilakukan oleh Telkom dan Telkomsel.
Komitmen ini dibuktikan dengan mereka yang mau membangun tak hanya di daerah yang menguntungkan saja tetapi juga di daerah terpencil yang selama ini tidak menguntungkan. "Kita berharap komitmen yang sama juga akan diikuti oleh operator-operator lainnya, tak hanya oleh Telkom dan Telkomsel," harapnya.
Namun, operator lain yang ikut dalam rapat itu juga mengklaim telah ikut membangun jaringan sesuai dengan komitmen modern licensing yang dimiliki meskipun belum seagresif Telkomsel di daerah pelosok.
"Semua operator yang masih beroperasi hari ini pasti sudah membangun jaringan sesuai porsinya berdasarkan modern licensing masing-masing. Kalau tidak penuhi komitmen modern licensing, pemerintah sudah cabut izin operasi kami sekarang," kata Wakil Direktur Utama Tri Danny Buldansyah.
Danny pun sesumbar pihaknya sudah memenuhi sekitar 83% dari total kewajiban jaringan yang harus dibangun berdasarkan izin lisensi. "Jadi, kalau dibilang tak ada itikad membangun di daerah, kami merasa keberatan."
Presiden Direktur Indosat Ooredoo, Alexander Rusli, bernada sama. Ia mengatakan, pihaknya selalu ingin berkompetisi dan membangun jaringan di luar Jawa. "Kami banyak membangun di luar daerah, tapi memang tidak sebanyak Telkomsel. Kakak tertua kami itu sudah menguasai 87% market share di luar Jawa dan profitnya besar. Sementara kami baru 3% dan masih rugi," ia menjelaskan.
Alex meminta operator kecil diberi kesempatan meraup porsi di daerah. Salah satu caranya dengan menurunkan biaya interkoneksi sehingga operator kecil bisa mengeluarkan produk-produk yang lebih menarik.
Direktur Utama XL Axiata, Dian Siswarini, sepakat dengan dua rekannya. Ia mengatakan sepanjang 2016 sudah membangun sekitar 66.000 BTS. Cakupannya sudah memenuhi 93% dari modern licensing yang diberikan.
"Kami menggunakan berbagai strategi untuk membangun kualitas jaringan di daerah. Tantangannya memang di jalur transportasi. Pak Merza (Smartfren) kan akan bangun jalur Palapa Ring dan itu bisa bantu kami menjangkau area pelosok," ia menjelaskan.
Pernyataan Dian ditimpali Direktur Utama Smartfren, Merza Fachys. Ia mula-mula mengatakan basis pengguna Smartfren paling kecil di antara rekan-rekannya, yakni sekitar 11 juta.
Meski demikian, jaringan Smartfren sudah menyelimuti 236 area dan terus membangun di daerah dan kota. Komitmen pembangunan ini tampak pula dari keikutsertaan Smartfren di Proyek Palapa Ring yang sedari awal diketahui tak menguntungkan.
"Konsorsium kami membangun Palapa Ring Barat dan Timur. Kami bikin backbone-nya di daerah paling pelosok," ujarnya.
Sementara Direktur Utama Telkom, Alex Sinaga mengatakan, total panjang kabel optik Telkom sebagai backbone mencapai 83.370 kilometer dan akan ditambah 47.270 kilometer lagi.
Apa yang dikatakan oleh para petinggi operator telekomunikasi itu pun mendapat tanggapan dari Prakoso. Menurutnya, dari paparan seluruh operator itu sudah bisa dilihat dengan jelas siapa yang berkomitmen penuh dalam membangun jaringan hingga pelosok sesuai lisensi nasional yang dimiliki.
"Jika Menkominfo tidak berani memaksa para operator tersebut membangun di daerah terpencil dan perbatasan, artinya keberpihakkan beliau kepada operator asing sangat jelas. Beliau juga tidak mendukung program Nawa Cita Presiden Joko Widodo tentang membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan," tegas Prakoso.
(rou/ash)