Demikian diutarakan Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M. Ridwan Effendi saat berbicara dalam diskusi publik Strategi Membangun Infrastruktur Telekomunikasi Untuk Pemerataan Pembangunan dan Kemajuan Negeri di Ruang Multimedia Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jumat (26/8/2016) petang.
Menurut Ridwan, wajar wacana interkoneksi berbasis IP sudah mulai digulirkan. Pasalnya tren dunia memang mengarah ke sana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sesungguhnya teknologi kita sudah dimungkinkan komunikasi voice dengan berbasis IP. Tapi infrastruktur belum mendukung 100%. Jadi butuh waktu lagi untuk interkoneksi IP," jelas Ridwan.
Saat ini mayoritas pengguna mobile di Indonesia berorientasi pada panggilan suara dan SMS. Selain itu banyak penduduk Indonesiayang masih menggunakan ponsel 2G. Inilah yang kemudian menjadi halangan untuk diterapkannya aturan interkoneksi berbasis IP.
|  | 
Tapi Rdiwan tidak mempermasalahkan bila Indonesia mulai menyiapkan diri. Di dunia sendiri belum banyak negara yang menerapkan aturan tersebut.
"ITU (International Telecommunication Union) saja baru menerbitkan soal regulasi perhitungan interkoneksi berbasis IP," ujarnya.
Salah satu negara yang sudah menerapkan interkoneksi berbasis IP secara keseluruhan adalah Hong Kong. Mereka mulai memberlakukan aturan tersebut sejak 2015.
Pemerintah Hong Kong memutuskan untuk mematikan jaringan 2G. Pihak pemerintah setempat mengeluarkan anggaran khusus untuk mengganti ponsel 2G milik penduduknya. Sehingga saat ini semua penduduk Hong Kong minimal menggunakan ponsel 3G.
"Dengan penduduk 2,6 juta, Hong Kong dapat melakukan dengan mudah. Tapi bayangkan di Indonesia dengan penduduk di atas 200 juta orang. Pengganti ponsel 2G tentu sulit dilakukan oleh pemerintah," kata Ridwan.
Senada dengan Ridwan, Direktur Network IT & Solution Telkom Abdus Somad Arief menyakini aturan interkoneksi berbasis IP tidak dapat diterapkan dalam dua atau tiga tahun ke depan. Sebab fokus operator masih pada interkoneksi berbasis circuit switched.
"Rasanya belum karena Indonesia masih connection oriented, yakni SMS dan voice. Semua itu masih di atas 50%. Jadi itu yang masih menjadi fokus operator," ujar pria yang kerap disapa Asa ini.
Sejumlah pihak pun meyakini Penerapan IP Based dinilai akan menguntungkan konsumen karena kualitas layanan yang baik dan harga yang terjangkau.
Beberapa waktu lalu Anggota Komite Bidang Hukum Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) I Ketut Prihadi Kresna mengungkapkan tidak menutup kemungkinan pembahasan ke arah IP Based. Pasalnya, beberapa negara pun sudah mulai menerapkan sistem perhitungan ini.
"Saat ini kan masih circuit switch, mulai ada pembahasan mengarah ke sana (IP Based). Sekarang kan sudah terbiasa dengan besaran menit. Sedangkan hitungan besaran IP Based mengunakan kilobyte dan megabyte Tetapi ada hitungan yang bisa dikonversikan ke menit," paparnya.
Ketut menjelaskan, perhitungan ini nantinya memang dibutuhkan terutama saat implementasi Voice Over LTE (VoLTE). Namun, karena masyarakat sudah terbiasa dengan menit, bisa saja hadir opsi perhitungan yang sudah dikonversi menit.
"Tetapi sekarang yang namanya jasa telepon selular masih berbasis circuit switch. Namun, nantinya jika revisi PP 52/2000 rampung. Maka, regulasi yang membahas circuit switch tidak ada, sehingga perhitungan IP Based pun bisa dilakukan," tambahnya.
|  | 
Selain revisi PP 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, perubahan pun harus dilakukan dalam Fundamental Technical Plan (FTP). Seperti namanya, FTP merupakan dasar dari semua operasional telekomunikasi dan semua yang berbasis IP akan berbeda.
Ketut mencontohkan panggilan Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ). Jika nantinya akan ada penerapan IP based, maka harus dikaji lebih lanjut dampak ke depannya.
Sedangkan dari sisi konsumen, dampaknya akan positif karena kualitas panggilan pasti akan lebih bagus. "Kualitas pasti akan lebih bagus, dari sisi manfaat yang diterima pun pasti lebih bagus karena bisa mendapatkan harga yang lebih murah. Tetapi hierarki jaringannya harus dibicarakan lagi," ungkapnya.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara juga sempat mengungkapkan wacana implementasi interkoneksi berbasis IP. Di beberapa negara yang sudah menerapkan perhitungan ini menunjukkan tarif ritel atau tarif pungut bisa terjangkau.
"Tren memang ke arah sana dan saat ini kebijakan interkoneksi masih circuit switced. Tetapi masih banyak PR yang harus diselesaikan, seperti perubahan FTP," jelasnya.
Di samping itu, kesepakatan antar operator telekomunikasi pun harus ada. Seperti yang diketahui, perhitungan ulang biaya interkoneksi dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 8 Tahun 2006 tentang Interkoneksi.
Sejak 2006, perhitungan biaya interkoneksi telah dilakukan berbasis biaya (cost based) yang dipandang adil bagi para penyelenggara telekomunikasi untuk menjamin pelaksanaannya secara transparan, non diskriminatif dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuatan pasar dari penyelenggara dominan. (mag/mag)








































.webp)













 
             
  
  
  
  
  
  
 