Para petinggi operator yang hadir antara lain Direktur Utama Telkom Alex Janangkih Sinaga, Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah, President Director & CEO Indosat Ooredoo Alexander Rusli.
Kemudian President Direktor & CEO XL Axiata Dian Siswarini, Presiden Direktur Smartfren Telecom Merza Fachys, dan Wakil Direktur Utama Hutchison 3 Indonesia Muhammad Buldansyah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini kalau kita lihat ribut-ribut interkoneksi hanya ingin memperebutkan kue pasar Telkomsel. Sementara Telkomsel dan Telkom bertahan habis-habisan agar kuenya tak dimakan oleh empat (operator) yang duduk di samping itu," ucap Anggota Komisi I, Budi Youyastri.
Budi mempertanyakan, seandainya biaya interkoneksi yang diumumkan melalui surat edaran oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika diberlakukan pada 1 September mendatang, adakah komitmen dari operator yang pro penurunan untuk memangkas tarif ritel dan membangun jaringan hingga seluruh Indonesia.
"Jika empat operator (Indosat, Tri, XL, dan Smartfren) tak ada komitmen, maka benar ini hanya mau merebut kue milik Telkomsel saja. Nah, yang menjadi pertanyaan dari untung yang mereka dapat itu nanti larinya ke mana?
"Kalau sudah begini, lebih baik Telkomsel kasihkan saja jaringan yang sudah susah payah dibangun di luar Jawa ke Menkominfo Rudiantara. Biar dia suruh ganti saja biaya yang sudah dikeluarkan dan kita minta pertanggungjawabannya untuk menyambungkan semua Indonesia," ketusnya.
Anggota Komisi I lainnya, Evita Nursanty melihat memang ada perbedaan antara operator telekomunikasi dalam melihat penurunan biaya interkoneksi.
"Sudah jelas itu Telkom dan Telkomsel menolak, lainnya mendukung penurunan. Masalahnya kalau bicara Indonesia itu cost recovery berbeda-beda, apa wajar yang sudah bangun hingga pelosok dirugikan. Harusnya dihitung secara asimetris dan zona," tegasnya.
Sedangkan anggota komisi I DPR RI Effendi MS Simbolon melihat ada yang tidak adil dalam perhitungan biaya interkoneksi. "Ada pihak yang menjalankan tugas sesuai undang-undang, ada pihak lain yang ingin diperlakukan sama padahal berbisnis di Indonesia harus mengikuti aturan."
Sementara bos Indosat, Alexander Rusli, mengatakan biaya interkoneksi menjadi hambatan bagi Indosat untuk menawarkan produk yang atraktif khususnya di luar Jawa.
"Kami ingin memberikan layanan bervariasi dan terjangkau ke pelanggan. Salah satu barrier itu interkoneksi. ini alat untuk mengatur kompetisi," katanya.
Diungkapkannya, biaya interkoneksi di Jawa tak sama dengan luar Jawa. "Telkomsel menguasai 87% pangsa pasar bahkan dari sudut pandang profit cash flow 100%. Beda dengan kami yang bermain di luar Jawa, rugi. Berikan kami kesempatan untuk melayani luar Jawa, salah satunya dengan insentif penurunan biaya interkoneksi ini," tegasnya.
Sementara bos Telkomsel, Ririek Adriansyah mengatakan, penurunan biaya interkoneksi dengan metode simetris merugikan Telkomsel karena cost recovery yang diterima tidak sesuai dengan biaya produksi.
"Competitive advantage kami dihilangkan regulasi. Demi Nawacita, perhitungan biaya interkoneksi harus cost based dan asimetris agar sesuai dengan cost recovery dan berdampak baik ke industry," tegasnya.
Sebelumnya, Komisi I DPR meminta Menkominfo Rudiantara untuk menunda keluarnya Peraturan Menteri (PM) tentang penetapan Biaya Interkoneksi per 1 September mendatang.
PM itu kabarnya menguatkan Surat Edaran No.115/M.Kominfo/PI.0204.08/2016 dimana biaya interkoneksi turun 26% secara rerata untuk 18 skenario panggilan di seluler.
Biaya interkoneksi adalah salah satu komponen dari tarif retail. Saat ini tarif interkoneksi yang diberlakukan di Industri hanya dibawah 20% dari tarif retail lintas operator yang dibayarkan oleh pelanggan. Sedangkan formula tarif retail terdiri dari biaya interkoneksi, service activation fee, dan margin. (rou/fyk)











































