Takaran Untung Rugi Interkoneksi Versi Kominfo
Hide Ads

Takaran Untung Rugi Interkoneksi Versi Kominfo

Achmad Rouzni Noor II - detikInet
Rabu, 24 Agu 2016 15:45 WIB
Foto: GettyImages
Jakarta - Silang pendapat soal untung rugi penurunan biaya interkoneksi rata-rata 26% untuk 18 skema panggilan telepon tetap dan seluler akhirnya direspons oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Menurut Plt Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo, Noor Iza, antara perolehan biaya interkoneksi yang didapat, dengan pengeluaran untuk biaya interkoneksi, banyak operator yang mengalami minus. Pendapat itu diutarakannya setelah melihat laporan keuangan rata-rata penyelenggara telekomunikasi saat ini.

"Termasuk operator majority juga demikian.Jadi kalau dikatakan biaya interkoneksi baru ditujukan untuk menguntungkan operator tententu, tidaklah tepat," ujarnya saat ditemui detikINET di Komisi I DPR RI, Jakarta, Rabu (24/8/2016)

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Intinya, lanjut sang juru bicara Kominfo, biaya interkoneksi yang baru merupakan instrumen penyeimbang dan gairah penguat industri telekomunikasi nasional. Penerapan biaya interkoneksi ini, ditegaskan olehnya, merupakan solusi yang win-win.

"Namun terlepas dari itu, penerapan biaya interkoneksi harus diikuti dengan penurunan tarif retail ke pelanggan dan operator telekomunikasi, khususnya selular harus bergerak coverage-nya alias bersedia untuk membangun ekspansi jaringan ke area-area baru," tegas Noor Iza.

"Untuk ekspansi ke coverage-coverage baru, pemerintah mendorong skema network sharing. Di satu sisi, hal ini dapat menekan cost investasi dan biaya operasional sebagian, dan di sisi lain juga memberi dukungan positif bagi negara dengan memperkecil pengeluaran devisa," lanjutnya.

Pendapat berbeda sempat dikeluarkan oleh berbagai pengamat dan analis. Penurunan biaya interkoneksi disebut-sebut hanya menguntungkan Indosat Ooredoo dan XL Axiata. Sementara di sisi lain, kebijakan pemerintah ini malah membuat Telkom Group tekor.

Dalam riset saham yang ditulis Leonardo Henry Gavaza, CFA, analis saham dari PT Bahana Securities, dia memastikan bahwa kebijakan baru tersebut akan menguntungkan Indosat dan XL.

"Dengan dua aturan baru tersebut Indosat dan XL bisa monetisasi jaringan serta menghemat biaya interkoneksi yang selama ini mereka keluarkan," kata dia dalam hasil risetnya.

Dari laporan keuangan 2015 tercatat, Indosat membukukan pendapatan interkoneksi sebesar Rp 1,9 triliun. Namun beban interkoneksi yang dikeluarkan Indosat mencapai Rp 2,3 triliun atau tekor lebih dari Rp 400 miliar.

Sedangkan XL mencatat pendapatan interkoneksi Rp 2,391 triliun. Sementara bebannya Rp 2,320 triliun atau untung sebesar Rp 70 miliar.

Sementara menurut Muhammad Ridwan Effendi, Sekjen Kajian Telekomunikasi ITB, kebijakan baru interkoneksi ini secara langsung dan tidak langsung bisa menghilangkan pendapatan negara sekitar Rp 15 triliun setiap tahunnya.

"Setiap tahunnya negara bisa rugi sekitar Rp 15 triliun demi membela operator yang kebetulan (mayoritas) dimiliki asing seperti Indosat Ooredoo dan XL Axiata. Ini jelas mengganggu target APBN 2017 yang dicanangkan Presiden Jokowi," ujarnya.

Angka kerugian hingga Rp 15 triliun itu, seperti dijabarkan Ridwan, didapat dari hitung-hitungan potensi kerugian operator telekomunikasi dominan (incumbent) milik negara, dalam hal ini Telkom Group.

"Telkom Group itu total pendapatannya Rp 86 triliun dengan pendapatan dari interkoneksi 6% atau sekitar Rp 5 triliun untuk cost recovery jaringan. Dengan turunnya interkoneksi 26%, itu artinya mereka kehilangan Rp 1,25 triliun. Itu dampak langsungnya," papar Ridwan.

Pendapat lainnya soal angka kerugian Telkom juga sempat diucap oleh Anggota DPR Komisi XI dari Fraksi PKS, Refrizal, yang menilai potensi kerugian Telkom jika tarif interkoneksi baru diberlakukan awal September 2016, akan mencapai Rp 50 triliun.

Dalam keterangannya, dia mengaku sudah melapor ke Menteri Keuangan Sri Mulyani adanya estimasi penurunan pendapatan dari BUMN telekomunikasi itu jika kebijakan interkoneksi ini dipaksakan.

Padahal, kata dia, pemerintah sedang berjuang untuk menambah pendapatan negara untuk memenuhi target APBN 2017, dimana target pendapatan negara mencapai Rp 1.737,6 triliun.

"Jika pendapatan Telkom turun maka pendapatan negara dari pajak dan deviden Telkom juga turun. Dan tentu ini akan mengganggu APBN 2017 mendatang," papar Refrizal.

Namun demikian, Kominfo sendiri tak setuju dengan semua pendapat itu. Noor Iza menilai, tanpa adanya penurunan biaya interkoneksi pun, pendapatan Telkom memang sudah minus.

"Padahal kan Telkom Group itu minus untuk domestic interconnection. Jadi kalau sebelumnya Indosat minus besar. Telkom Group itu (sekarang juga) minus interkoneksinya. (Padahal) tahun 2015 dan sebelumnya surplus. Nah, kalau biaya interkoneksi besar, dia minta retail turun kan jelas itu melawan kompetisi," pungkasnya. (rou/fyk)
Berita Terkait