Interkoneksi Turun, Telepon Banting Harga? Belum Tentu!
Hide Ads

Interkoneksi Turun, Telepon Banting Harga? Belum Tentu!

Ardhi Suryadhi - detikInet
Rabu, 24 Agu 2016 10:05 WIB
Foto: Ardhi Suryadhi/detikINET
Alor, Nusa Tenggara Timur - Biaya interkoneksi memang jadi salah satu faktor untuk menentukan tarif retail yang ditawarkan kepada pelanggan. Namun ketika biaya interkoneksi turun, apa lantas secara otomatis tarif retail bakal banting harga?

Ketika hal itu ditanyakan ke Dirut Telkomsel Ririek Adriansyah, ia justru menyangsikannya. "Gak menjamin," tegasnya saat ditemui sejumlah media di sela acara Komitmen Bersama Membangun Kawasan Perbatasan Negara Menjaga Kedaulatan NKRI di Kalabahi, Alor yang berbatasan langsung dengan Timor Leste.

Ririek berasalan, tarif interkoneksi berkontribusi tidak signifikan terhadap penentuan tarif retail ke pelanggan, hanya di kisaran 10-15%. Sedangkan komponen lainnya didominasi oleh margin profit, biaya pemasaran, dan lainnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dengan tarif off-net (lintas operator-red.) sekitar Rp 1.500-2.000 per menit tarif interkoneksi gak terlalu signifikan. Sebenarnya ada komponen cost yang lain (bisa dilirik) kalau mau menurunkan tarif retail," ujarnya.

Bahkan, lanjut Ririek, ada operator lain belum lama ini ketika diwawancara soal 'apakah tarif interkoneksi bakal otomatis menurunkan tarif retail?' juga menjawab tak bisa memberi jaminan.

"(Sebab) kalau niatnya bakal menurunkan tarif pasti dijawab tegas,' ya turun' (tarif retail bakal turun-red.). Cuma ini kan masih mengambang," sebutnya.

Namun selain soal tarif, isu yang dinilai sebenarnya patut dikhawatirkan adalah dari sisi keinginan operator untuk membangun jaringan dan menjaga agar industri tetap sehat.

"Kalau ada operator yang punya 10 BTS dan 1.000 BTS dibayar sama maka yang punya BTS sedikit gak bakal mau bangun agresif, 'ngapain bangun banyak kalau pada akhirnya dibayar sama dengan punya 1.000 BTS?'. Padahal seharusnya, interkoneksi gak boleh ambil untung karena itu cost recovery," kata Ririek.

Sementara untuk tarif retail β€” baik voice atau data β€” yang berlaku di Indonesia sejatinya sudah merupakan salah satu yang termurah di dunia. Memang, tidak nomor satu paling murah, tetapi berada di nomor tiga atau empat.



Dengan kondisi itu, Ririek menilai jika yang dibutuhkan masyarakat Indonesia bukanlah tarif yang lebih murah sehingga operator berdarah-darah, melainkan tarif terjangkau yang wajar.

"Jadi tarif murah banget seolah baik untuk masyarakat untuk jangka pendek tapi jangka panjang tidak. Operator akan menurun untuk membangun, kualitasnya seadanya, ini yang tidak bagus," lanjutnya.

"Padahal untuk membangun industri telekomunikasi yang sehat setidaknya harus memenuhi beberapa hal. Yakni layanan terjangkau, industri harus sustain dengan kemampuan membangun dan menjaga kualitas, infrastruktur merata karena masyarakat punya hak sama, dan terakhir dapat memenuhi standar kualitas layanan," Ririek menandaskan. (rou/rou)
Berita Terkait