Dalam analisa sebelumnya yang disampaikan Ibrahim Kholilul Rohman, doktor ICT asal Indonesia lulusan Swedia, disebutkan bahwa operator tak perlu takut rugi.
Karena menurutnya, penurunan interkoneksi tak melulu merugikan operator. Bahkan, kata dia, dampak dari penurunan biaya interkoneksi ini justru bisa menguntungkan operator telekomunikasi dalam jangka panjang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi kalau ada asumsi penurunan biaya interkoneksi akan menurunkan tarif retail, menjadi sangat tidak masuk akal. Seharusnya margin operator lah yang diturunkan, jangan pada biaya interkoneksinya," ujarnya, Senin (15/8/2016).
Seperti diketahui, dalam Surat Edaran yang dirilis Kementerian Kominfo, dengan pola perhitungan baru itu, biaya interkoneksi untuk panggilan lokal seluler menjadi turun, dari sekitar Rp 250, maka per 1 September 2016 nanti, menjadi Rp 204 per menit.
Keputusan ini sempat menjadi polemik bagi sebagian pihak. Namun menurut Ibrahim yang lama berkutat dengan regulasi di Eropa, para operator sebenarnya tak perlu khawatir.
Lagi-lagi pendapat ini dibantah oleh Fahmy. Karena menurutnya, komponen biaya interkoneksi yang sekarang hanya sekitar 15% dari komponen tarif retail. Sementara komponen tarif retail itu sendiri terdiri dari biaya interkoneksi, biaya aktivasi dan marjin operator.
Dijelaskan olehnya, biaya interkoneksi sejatinya hanya cost recovery yang pada praktiknya digunakan operator untuk bisa terus membangun dan menjaga kualitas layanannya.
Fahmy juga berpendapat, jika cost recovery itu dibayarkan tidak sesuai dengan biaya yang sebenarnya maka otomatis kemampuan operator tersebut akan berkurang sehingga tidak bisa membangun dan menjaga kualitas layanannya. "Artinya pelanggan juga yang akan dirugikan," tegasnya.
"Perhitungan kembali biaya interkoneksi seharusnya mengacu kepada hakikat biaya interkoneksi yang berbasis biaya operator, jadi tidak ada operator yang diuntungkan atau dirugikan dari perhitungan ulang ini," paparnya lebih lanjut.
Untuk masalah penurunan tarif retail berkat interkoneksi, hal ini juga diamini oleh Ibrahim sebenarnya. Ia pun mendorong agar operator seharusnya menurunkan tarif retail agar bisa mendorong trafik percakapan lintas operator.
"Namun, elastisitas penurunan harga ditentukan oleh masing-masing perusahaan telekomunikasi," ujarnya seraya mengakui pembangunan infrastruktur jaringan memang membutuhkan biaya yang besar.
Terkait tidak adanya operator yang seharusnya diuntungkan atau dirugikan dari perhitungan ulang interkoneksi ini, Fahmy menegaskan, bahwa regulasi seharusnya berlaku adil bagi semua.
"Tapi interkoneksi memang seharusnya diregulasi," kata Ibrahim dalam pendapatnya.
Cuma Untungkan Indosat dan XL?
Dalam diskusi, Ibrahim juga sempat ditanyakan soal adanya tudingan bahwa penurunan biaya interkoneksi ini akan menguntungkan sejumlah operator.
Namun ia mengatakan, penurunan interkoneksi harusnya tidak hanya menguntungkan salah satu atau dua pihak saja. Kalaupun ada yang terkesan diuntungkan saat ini, ditegaskan olehnya, itu hanya kebetulan.
"Penurunan interkoneksi itu sebenarnya tak cuma untungkan Indosat, tapi menguntungkan untuk semua operator," kata Ibrahim yang dalam tiga tahun terakhir ini tinggal di Madrid, Spanyol.
Namun dalam riset saham yang ditulis Leonardo Henry Gavaza, dari Bahana Sekurities, disebutkan bahwa aturan baru tersebut justru akan menguntungkan Indosat dan XL.
"Dengan penghitungan baru interkoneksi, Indosat dan XL bisa monetisasi jaringan serta menghemat biaya interkoneksi yang selama ini mereka keluarkan," kata Leonardo.
Disebutkan olehnya, dari laporan keuangan 2015 tercatat Indosat membukukan pendapatan interkoneksi sebesar Rp 1,9 triliun. Namun beban interkoneksi yang dikeluarkan Indosat mencapai Rp 2,3 triliun atau tekor lebih dari Rp 400 miliar.
"Sedangkan XL mencatat pendapatan interkoneksi Rp 2,391 triliun. Sementara bebannya Rp 2,320 triliun atau untung Rp 70 miliar," masih kata Leonardo. (rou/ash)








































.webp)













 
             
  
  
  
  
  
  
 